Fandy Aditya
Dunning Krugger Effect. Istilah korelasi antara kompetensi dengan kepedan atas kompetensi tersebut. Ketika kamu tau dikit, maka kamu banyak omong, ketika kamu tau banyak, kamu malah lebih milih untuk diam. Kompetensi yang dimaksud ini ada di berbagai sektor, dari kompetensi yang paling useless hingga kompetensi yang bisa mendatangkan a lot of money. Kalau di Indonesia ada istilahnya juga. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin menunduk. Jadi kalau semakin kita memiliki ilmu, jangan besar kepala, jadilah humble.
Hari ini aku sakit. Sekeluarga ternyata juga sakit, kecuali ibuku. Beberapa bulan lalu aku juga sempet nulis ketika aku sakit ini. Waktu itu juga ibuku aja yang tidak sakit. Aku bersyukur banget.
Laser Focus
Semua yang aku tulis disana masih relevant. Waktu sehat banyak maunya, waktu sakit maunya cuma 1. Sembuh.
Kesehatan ini memang kita suka anggap sesuatu yang normal, padahal badan yang sehat ini adalah fondasi dasar kalau kita mau ngapa-ngapain.
Bapaku jago pijet. Aku beberapa kali kalau merasa butuh pijet, aku minta dipijet. Mungkin 1 bulan - 2 bulan sekali lah. Dan hari ini aku kebetulan lagi butuh.
“Pak capek? Mau mintak di pijetin ya”. Most of the time bakal di pijetin.
Selama mijet, bapakku selalu ngasi kotbah. Aku tanya aja sekalian topiknya apa, kayak gini:
“Pak lagi baca buku apa sekarang?” “Power of now de (made)". Aku tau secara kebayang, apa yang bakal isi bukunya tu.
“Bro gimana kerjaan?” “Susah banget bro, kerjaan lembur, bos marah-marah, gak naik-naik gaji lagi”. “Gila bro, ke udah kerja dapet gaji 2 dijit, gampang dah nyicil rumah ya”. “Bah, gak punya uang segitu bro haha” “Gimana kabar bro?” “Yah gini gini aja”
Itu contohnya, tapi aku yakin kalian mengerti konteksnya. Sering terjadi.
Tidak ada keluar kata-kata baik dari kita. Mulutmu itu punya hak. Kalau yang keluar dari mulut kita itu cuma yang jelek-jelek, kejelekan itu kelak akan terus datang.
Sebutlah orang lagi di bar, memang agak-agak selengean. Ngajakin ngobrol tapi dengan nada keras dan nantang-nantangin di bar yang semua orang pada mabuk. Pamer kekayaan ke orang-orang, dan bikin orang kesel. Sangat besar dia bisa digebukin atau mungkin bisa kehilangan nyawa.
Kita harus bisa membawa diri. Bukan berarti kita deserve untuk menjadi korban kejahatan karena kita tidak bisa membawa diri dengan benar. Gak ada yang pantas untuk menjadi korban kriminal. Tapi kita bisa mengurangi chance kita atas tindak kriminal yang terjadi dengan membawa diri dengan benar.
Kalau kamu ingin membantu orang jangan pamrih. Kalau kamu ingin minta bantuan dari orang, anggap bahwa orang itu pamrih.
Kita sering dikasi tau bahwa ikhlaslah tanpa pamrih ketika melakukan sesuatu. Tapi dari sini muncul mindset orang lain akan melakukan hal yang sama. Mayoritas tidak.
Kalau kamu dulu pernah membantu seseorang. Lalu sekarang kamu yang butuh bantuannya dia. Kamu bilang “Kan dulu kamu sudah aku bantu, jadi sekarang bantu aku lah”. Konteks itu, dengan kata-kata dan gesture yang sangat ramah sekalipun, orang itu bakal jadi males.
Orang-orang masih sering menggunakan angka di timbangan sebagai goals. Ketika dia mau membuat badan lebih berisi, atau ingin mengecilkan badan. Padahal tampak badan itu bisa saja tidak berbanding lurus dengan angka di timbangan.
Ada standar angka di timbangan yang kalau tingginya segini, maka berat idealnya adalah segini. Aku enggak tau itu diambil darimana, yang jelas itu sangat di-simplified. Kita melupakan adanya massa otot. Mungkin karena rata-rata orang tidak melatih otot , makanya itu bisa jadi valid untuk mayoritas.
Writenneversary, is that even a word? hahaha 22 September aku start untuk membangun habit menulisku. Dan sekarang kurang dari sebulan lagi, aku sudah menulis setiap hari dalam setahun. Dengan ketepatan 99%. Nanti ditulisan ke seratus bakal aku detailin statisticsnya.
Aku udah tidak kesulitan untuk nulis. Tapi di momen dimana aku berpikir menulis untuk orang lain, aku akan kesulitan menulis. Aku mesti mikir kembali bahwa aku nulis untuk diriku sendiri, apapun bisa aku jadikan tulisan.
Kemarin aku ikut nganter adiku Wisuda di jogja. Di Atmajaya. Sudah 4 tahun lalu kira-kira aku semenjak wisuda. Ngeliat keramaian kemarin, aku jadi kangen. Men kangen kuliah.
Ngeliat anak kampus, duduk di tangga, sepatu setengah diinjek. Vans old skool, dekil, flannel dilipet sedikit lengannya kayak abang becak, nungguin dosen, nungguin orang yang diwisuda, kakak tingkatnya, temennya. Ahh sangat-sangat nostalgia.
Aku inget betul momenku waktu wisuda 4 tahun lalu. Tidak akan pernah dilupakan.
Problemnya adalah truth akan lebih sering berubah daripada material fact. Karena social truth = mayoritas, dan mayoritas bisa saja berubah tergantung kondisi masyarakat, karena adanya dampak yang bisa berpengaruh secara global. Social truth itu relatif.
Ketika di sekililing kita semua menggunakan barang yang mahal-mahal, social truth tentang orang “kaya” akan berubah lagi, perlu barang yang super mahal lagi supaya bisa dibilang kaya. Disisi lain, ada sekolompok orang yang hanya menggunakan pakaian sederhana, sendalan, celana pendekan, tapi social truth malah menjudge dia yang paling kaya diantara yang lain (Counter signal).
Kalian pernah berada didalam argument? Kalau kalian tidak jago berargumen dengan kata-kata, argumen lah dengan aksi. Even kalau kalian jago berargumen dengan kata-kata, sejatinya kata-kata itu tidak berarti apa-apa. Ketika kalian menang argumen dan orang tersebut menjadi berubah pikiran, sangat mungkin dia bakal kembali lagi ke pandangan yang sebelumnya di kemudian hari kan? Sangat sering terjadi.
Jadi berikan aksi. Kalau kalian merasa sudah useless untuk berargumen dengan kata-kata buktikan dengan aksi.
Mengambil kredit atas kerjaan orang lain. Sering terjadi. Yang paling populer, reposter. Tahun 2010-an, cukup dengan menambahkan background hitam, terus nambah text di atas dan bawah konten dengan tulisan “I can’t believe this happen”, atau “Watch till the end”, itu bisa mendatangkan traffic hampir sebesar dengan konten originalnya.
Jaman sekarang (di tiktok, reels, shorts). Dengan menambahkan background “Aesthetic” dan Lagu Sedih (Netizen bilangnya gitu), atau gak dikasi opening “Amadiketu”, konten viral itu bisa saja menjadi lebih viral ketika di repost oleh orang.
Ketika aku membaca buku atau artikel ada satu hal yang aku sadari. Ketika aku menentukan tujuan membacaku, aku tidak akan mendapatkan real informasi dari sumber itu, melainkan informasi yang mendukung goalsku aja.
Misal ketika aku membaca sebuah sub-bab di buku, aku mikir “Wah, ini bisa ni aku jadiin tulisan baru di blog”. Isi dari sub-bab itu tidak akan masuk sepenuhnya di aku, cuma beberapa aja yang “relate” dengan tulisan yang mau aku tulis di blog.
Bapakku tadi tiba-tiba ke kamar bilang: “de mau beli rumah? Udah kayak nawarin nge grabfood. Darisana terus merembet ke finansial journey.
Intinya bapak ibuku ngutang untuk memenuhi tujuan finansial keluarga. Aku tidak akan masuk ke detail, tapi ada beberapa kesimpulan yang aku dapatkan:
Ngutang jangan untuk tujuan konsumtif. Mostly bapakku ngutang untuk beli rumah dan pendidikan anak. Rumah termasuk juga renovasi rumah. Kalau pendidikan juga include biaya merantau dan hidup anak-anaknya.
SMP, atau awal SMA. Saat internet sudah mudah didapatkan (waktu itu masih pakai modem sih) aku suka banget baca tentang konsiprasi dan misteri. Blog langgananku Engima blogspot. Penulis indonesia yang isinya tentang case-case misteri yang sudah maupun belum terpecahkan jaman dulu.
Aku masih ingat: The Black Dahlia Murder, Babushka Lady, Jack the ripper, Area 51, Ufo, Crop circle, Yeti, Bigfoot, Lochness disana ada semua. Mungkin itu pengalaman pertama membacaku yang paling aku niat.