Fandy Aditya
Sekarang jam 11 malam, aku hampir lupa nulis hari ini. Yah memang gitu. Apabila jam rutin ketika menulis itu tidak dilakukan, biasanya bakal lupa. Walaupun udah tiap hari nulis tapi tetap aja lupa. Karena “merasa” sudah menulis, karena jam menulis sudah lewat, padahal jamnya cuma sekedar lewat, bukan berarti habitnya dilakukan. Melaksanakan habit yang sudah automatic jadi bingung ketika kita tidak melakukannya di jam/tempat biasanya. Merasa sudah melakukan, padahal tidak.
Kemarin aku nulis ada 2 hal besar yang dapat meningkatkan power kita. Money dan status. Sekarang aku mau coba lebih men-detail:
Money Uang tentu saja. Walaupun kamu menganggap uang itu hanya tools, tapi dunia ini ter-create berkat uang. This world use money to play the game. Dan oleh karena itu we need to play to get what we want in this world. Make a lot of money. Make wealth. Apa-apa bisa dibeli dengan uang, bahkan sesuatu yang kamu kira itu tidak bisa dibeli, sekarang bisa asal ada uang yang banyak aja.
This topic will be delayed hahaha
Aku sering banget liat top recommended books to read, atau 10 book that need you read before you die. Selalu ada buku 48 Law of power. Kalau diterjemahin ke indonesia, 48 hukum tentang kekuatan. Sangat abstrak. Aku belum baca bukunya, masuk wishlist lah. Tapi aku coba cari tau maksud dari “power” yang dimaksud.
Power yang dimaksud adalah kekuatan untuk mendapatkan apa yang kita mau, kekuatan untuk mampu menginfluence orang agar bisa sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Jalan kaki ke - 5 ini agak berbeda. Karena kemarin-kemarin jalan kaki tidak melakukan apa-apa, hanya berpikir dan jalan kaki. Sekarang aku coba dengan jalan sambil mendengarkan audiobook.
Never fan of audiobook, karena dulu pernah coba, dan tidak pernah dapet feelnya. Ternyata setelah dicoba mendengarkan audiobook sambil jalan, ternyata itu cocok.
Jalan sambil dengerin audiobook cukup enak, kita tidak boring karena tidak duduk atau diem ditempat, karena kita jalan. Disisi lain kita juga enggak peduli apa yang ada disekeliling kita, kita fokus ke isi dari audiobook nya.
Someone ask me if i interested dating older women, cewek diatas 28 tahun lah, aku bilang enggak karena menurutku sudah tidak atraktif. Terus ketika ditanya kenapa bisa enggak atraktif, di momen itu aku tidak menemukan jawabannya. Sekarang kayaknya aku tau apa.
Coba kita lihat faktor fisik. Kalau mengeneralisir cewek diatas 28 tahun itu fisiknya tidak lebih ok dari yang muda, sebenarnya juga enggak. Pevita pearce kayaknya udah diatas 28, tapi tetep aja cantik, tapi aku enggak mau pacarin atau nikahin dia (bukan karena out of league).
Kalau bicara toleransi, entah kenapa yang ada dipikiran itu toleransi beragama. Karena di Indonesia, toleransi beragama itu sesuatu yang dianggap baik, padahal itu sesuatu yang normal yang harus dilakukan. Tapi toleransi tentu saja bukan cuma itu.
Toleransi adalah aksi melanggar batasan yang kita punya atas orang lain. Bentuknya macem-macem, salah satunya menerima perbedaan beragama.
Toleransi itu adanya hanya dihubungan kita dengan makhluk hidup. Kalau di konteks lain, toleransi itu sebenarnya gak ada.
Jaman sekarang, di sosial media banyak banget yang merasa memiliki penyakit mental. Penyakit mental kalau dulu itu, biasanya orang gila. Tapi sekarang ada banyak, anxiety, depresi, dkk. Tapi kenapa baru jaman sekarang yang banyak memiliki mental illness, apa kabar jaman bapak ibu kita?
Kalau diliat dari sana, ada dua kemungkinan:
Apa yang membedakan jaman dulu dan jaman sekarang? Teknologi. Apakah teknologi membuat orang-orang memiliki mental illness? Kurang tau, tapi aku yakin sosial media banyak buruknya buat kita, lebih banyak buruknya.
Sunk cost fallacy, fallacy dimana kita tidak mau melepaskan atau merugi karena kita sudah invest terlalu banyak materi atau waktu di hal itu. Fallacy ini bermula dari bisnis, tapi kayaknya ini bisa ada dimana aja.
Kita merasa karena kita sayang karena kita sudah banyak invest lama disana. Walaupun hal tersebut faktanya sudah bikin rugi, atau sudah menjadi parasit.
Invest di sesuatu dengan banyak dan lama di suatu hal, bisa membuat rasionalitas kita jadi tidak jalan, rasionalitas dikalahkan oleh emosi, rasa sayang.
Aku secara pribadi masih sering melakukan comforting lies daripada ruthless truth. Tapi semakin kesini aku merasa, ruthless truth lah yang lebih dibutuhkan untuk maju.
I don’t know, ruthless seems negative but the comfort one is lies. Lies is lies no matter what, dan bakalan berdampak di masa depan, yang bahkan itu kita enggak tau penyebabnya karena lies yang kita berikan, atau lies yang kita terima. Karena sudah jauh-jauh didepan.
Ruthless, walaupun kasar, tapi itu fakta, kebenaran.
Di twitter lagi heboh karena kemarin waktu acara oscar, Will Smith nampar chriss rock, yang lagi ber stand up comedy. Chris Rock topik stand up comednynya itu tentang kebotakan istrinya Will Smith, yang karena penyakit apa gitu, di acara live, di tv nasional.
Aku bingung, siapa yang salah sebenarnya?
Apakah Will smith salah karena dia tidak bisa menerima candaan kayak gitu? Apa Chris Rock yang salah karena candaannya dia itu sangat tidak sesuai dengan etika?
Logic over emotion. Aku selalu mengedepankan logic, karena aku merasa logic adalah parameter yang mengacu kepada kebenaran. Manusia secara general adalah makhluk yang emotional, walaupun katanya laki-laki katanya lebih memikirkan logic, sedangkan perempuan lebih ke emotion.
Sejak lahir aku enggak mengedepankan logic sih, tapi seiring aku beranjak dewasa baru mengedepankan logic, berarti reasonku bukan karena “cowok itu lebih mengedepankan logic”, tapi menemui fakta bahwa logic is the good parameter to make decision.
Wantrepeneur, gabungan dari kata want dan entrepreneur.
Aku dari dulu selalu berpikir kalau aku enggak punya, atau tidak punya pengalaman di entrepreneur. Tapi kalau diingat ingat lagi, sebenarnya ada.
Pertama aku pernah jualan terjemahan cheat GTA. Jadi cheat GTA di website forum game aku terjemahin pake alfa link, tulis di double folio pake tangan, terus jual ke tetangga 5rb per kopi. Kepikiran ide gini, karena ya punya alfa link dan internet.
Aku selalu berpikir kalau aku tidak punya atau berbakat menjadi entreperenur. Tapi aku lupa, dulu waktu kuliah aku sempat buka jasa bisnis sepatu.
Ini sebenarnya diawali dengan jasa bisnis sepatu itu merupakan sesuatu yang baru, dan itu masih sedikit gitu lah. Kita itung-itung modalnya sedikit jadi langsung sikat. Pertama nawarin, peminatnya serius banyak.
Dari berdua, tapi akhirnya sendiri. Jasa cuci sepatu ini menurutku lebih ke marketing. Karena yah, kita menjual jasa, specifically teknik mencuci sepatu yang “benar”, padahal tekniknya sebenarnya enggak harus seperti itu.
Sesuai prediksi, ipad yang aku beli dulu ngebet sekarang enggak pernah dipakai untuk sesuatu yang bener-bener membutuhkan ipad.
Dulu aku sempet cerita beli ipad, tambah pensilnya buat belajar digital drawing. 2 minggu pertama nyoba digital drawing, hari ke 15 langsung gk pernah gambar lagi.
Menggabar secara digital, dan menggambar biasa itu sebenarnya mirip-mirip. Kalau kamu gak bisa gambar biasa, terus mau langsung ke digital, serasa ada gap yang mesti dipelajari dulu gitu.