Fandy Aditya
Aku ingat dulu waktu kecil, aku suka menantang andrenalin. Aku ingat dulu sd waktu ke waterboom berani buat main perosotan yang paling tinggi (smash down?). Aku ingat dulu suka banget main keluar walaupun udah punya ps dari kelas 1 sd. Aku ingat dulu pingin banget ke gunung walupun enggak pernah dikasi, dan pada gk tau juga mau ngajak siapa. Pingin bisa skate, surf (gk pernah kesampean). Dulu suka banget adventure, mencoba hal baru.
Kalian pasti pernah dengan kalimat “Kamu adalah kekayaan rata-rata atau kesuksesan rata-rata dari 5 orang temanmu”. Atau “Kamu akan menjadi sama pintarnya seperti orang yang ada di dalam ruangan”. Kalimat-kalimat motivasi gitu lah. Maksudnya gimana sih? Bergaulah dengan orang yang lebih wealthy atau lebih pintar dari kita, intinya itu. Harapanya hokinya bakal nyalur ke kita.
Coba kita bagi aktornya jadi si wealthy dan si wealthy-less Tapi bagaimana kalau dari kacamata si wealthy?
Aku ingat ketika ingin bertanya ke guru di kelas, mau angkat tangan tapi ragu karena takut dibilang sok rajin sama temen-temen. Aku inget ketika mau bertanya sama dosen tapi udah mau jam pulang, jadi ragu karena nanti dibilang bikin lama pulang sama temen-temen. Aku inget juga risih dibilang nerd atau geek karena nongkrongnya buat ngoding sama temen. Aku pernah diposisi itu, aku pernah jadi “teman” yang ngejudge.
Menurutku orang yang menjudge “Sok rajin” atau “Geek” “Nerd”, “Cupu”, “Kutu buku” dkk itu adalah orang yang tidak lebih pintar dari orang tersebut.
Ketika seorang peramal bilang: kamu harus melakukan x,y,z agar sukses, apakah kamu percaya? Kalau aktornya kita ganti Bill Gates apakah kamu bakal lebih percaya? Di konteks ini aku yakin dijaman sekarang kita lebih percaya Bill Gates dari pada si peramal. Perbedaannya dimana? Bedanya ada di sukses yang terlihat. Eksternal sukses.
Kita bisa saja ngasi tau orang, misal kita baca buku self development bagus. Kita ngasi tau poin-poin penting dari buku itu ke orang lain.
Ada hal yang tidak baik dilakukan. Hal kecil maupun hal besar. Hal yang merugikan orang lain atau merugikan diri sendiri. Hal yang dampaknya tidak langsung keliatan, atau langsung keliatan. Hal yang tidak baik menurut society. Hal yang secara science beneran tidak baik. Tapi kita tetap melakukannya. Terkadang kita memang tidak tau dampaknya dari hal tersebut. Dampaknya besar, diawal kita melihatnya hanya sepele. Tapi apabila kita sudah tau dampaknya besar, tapi kita tetap melakukannya, ada dampak tambahan yang datang pada diri.
Kita tau suatu hal kecil akan berbuah besar kalau dilakukan secara lama dan konsisten. Kita tau kalau rajin menabung 5 tahun lagi uang itu bisa jadi banyak. Kita tau kalau rajin angkat beban, rajin mengatur pola makan kita akan mendapatkan tubuh ideal. Kita tau long term sukses itu bisa mengubah hidup kita, tapi kenapa kita tidak melakukannya?
Otak manusia by design sepertinya dirancang untuk mencari sesuatu yang memberikan reward instan. Mungkin karena waktu jaman nomaden dan berburu, segala sesuatu mesti ekstra cepat, karena taruhannya hidup dan mati.
Dulu waktu tamat SMA entah kenapa pilihan merantau itu kayak default. Mungkin karena orang tua dan kakak juga kuliah di luar Bali, dan mereka merasakan manfaatnya. Setelah 4 tahun kuliah, dan 1-2 tahun merantau kerja dan kembali ke Bali, aku baru merasakan perbedaan dan mulai mikir. “Kalau misalnya enggak merantau dulu, nasibku sekarang kayak gimana ya” Kayak gitu. Merantau life changing.
Kapan hari ada temen ku cerita dia ngambil kuliah S2 di UGM, dan udah hampir skripsi belum pernah ke kampusnya sama sekali.
Aku pernah nonton youtube dimana ada terapi menangis. Terapi yang sengaja membuat pasiennya untuk menangis. Karena pasiennya terpaksa tidak bisa menangis dikondisi mereka sekarang. Mereka percaya menangis dapat membuat kita jadi relax, karena kita meluapkan unek-unek yang tidak bisa kita keluarkan selama ini.
Alasan kita menangis biasanya ada emosi yang ingin dikeluarkan. Biasanya emosi yang muncul karena perpisahan, kegagalan, kesedihan, lelah dkk.
Dulu ada teman yang cerita, dia sedang ada banyak masalah, pusing, hingga sudah sampai ke sucidal.
Kenapa orang memelihara hewan peliharaan, dan kenapa hewan peliharaan itu ada for the first place.
Dulu hewan peliharaan buat berburu, karena jaman dulu bertahan hidup itu harus berbulu. Jaman sekarang memelihara hewan itu lifestyle. Untuk bertahan hidup juga, tapi lebih ke support psikis.
Kalau kalian liat di youtube, instagram twitter dan sosmed lainnya, konten tentang hewan peliharaan khususnya anjing dan kucing tractionya selalu banyak. Menurutku kenapa kita suka hewan peliharaan ada beberapa alasan.
Incomplete task. Suatu hal di masa lalu yang belum terselesaikan hingga sekarang menurutku bisa menjadi salah satu hambatan dalam di hidup.
Kita hidup dimasa sekarang, tapi ada PR masa lalu karena incomplete task ini. Hal masa lalu yang belum terselesaikan membuat masa kini yang cemas ketika kita sekelibat ingat tentang itu. Kita jadi banyak “What if this, what if that”.
Pikiran kita berisi kecemasan, yang harusnya kita bisa manfaatkan dengan yang lain.
Berarti aku sudah 1.5 tahun wfh. Ada yang kusadari selama WFH ini. 8 jam itu banyak, dan kita setiap harinya enggak kerja 8 jam.
Waktu WFH, kerja dari jam 9 sampai jam 6 sore itu banyak yang bisa dilakukan. Tapi kenapa waktu work from office serasa kekurangan waktu? Itu topik utama di bukunya basecamp, “It doesn’t have to be crazy at work” yang 2 tahun lalu aku baca. Intinya disana dibilang, 8 jam itu banyak, kalau kita beneran kerja.
Setelah beberapa kali nulis “Free write 5 minutes”. Free write yang kulakukan beberapa minggu kebelakang (bahkan bulan) udah enggak 5 menit lagi.
Kalau aku cek, rata-rata selama ini aku nulis “Free Write” kurang lebih 200 kata. Enggak tau itu termasuk banyak atau enggak, tapi kalau awal-awal kayaknya enggak sebanyak itu.
Sudah enggak 5 menit lagi. Memang aku masih set 5 menit timer untuk nulis, tapi ujung-ujungnya pasti extend. Entah lanjut nulis atau buat ngedit.
Kira-kira ini yang membuat kita takut gagal, dan akhirnya takut mencoba:
Sangsi sosial. Mostly society menanggap kegagalan itu adalah aib. Biasanya bakal banyak sangsi-sangsi sosial-lah dari society. Dimarahi, dikucilkan, di-cancel, dkk. Itu yang kita mau hindari. Turun Lifestyle. Kita takut, karena nanti gagal kekayaan jadi taruhannya. Dengan kekayaan yang menurun, lifestyle ikut turun derajat. Berdampak ke orang lain. Dia sebenarnya sudah siap untuk menanggung segala risk yang ada. Tapi ada satu risk yang dia tidak siap, kalau kegagalan ini berimbas juga ke orang yang dia sayangi.
Pasti aja ada momen dimana kita ngasi tau orang yang lebih tua, tapi mereka tetap aja tidak berubah. Itu bukan karena dia sudah tua jadi kecerdasannya berkurang, bukan juga karena ego enggak mau dikasi tau yang bener dengan yang lebih muda. Tapi karena susah.
Orang tua, dia melakukan sesuatu yang sudah bisa dibilang menjadi habit. Contoh, dia sudah punya jadwal sendiri untuk kegiatan sehari-hari. Tapi ketika ada sesuatu yang eventual, yang membuat jadwal sehari-hari menjadi tidak seperti biasanya, biasanya bakal berantakan, plus ngomel-ngomel dulu.
Lakukan sesuatu yang bikin kita santai, atau santaikan segala sesuatu yang kita lakukan. Kalau disuruh milih tentu aku yakin bakal milih yang 2. Tapi itu susah. Lebih masuk akal nomor 1, walaupun kita butuh waktu untuk mencari. Tapi kenapa harus santai?
Maximize. Aku percaya dengan santai, kita bisa melakukan sesuatu dengan maksimal. Santai membuat pikiran menjadi tenang, pikiran tenang membuat semua hal terkontrol. Semua terkontrol membuat kerjaan dan kegiatan menjadi maksimal, sesuai dengan plan.