Fandy Aditya
You are what you eat. Pernah denger kalimat ini gak? Biasanya ini dijadiin jokes. Misal lagi makan babi, langsung kita dibilang mirip babi. Tapi maksudnya kayaknya bukan itu.
Kamu apa yang kamu makan, lebih tepatnya you are what you consume. Perilaku dan pemikirianmu terpengaruh dari konten yang kamu consume.
Konten bisa digital non digital, kalau non digital yaa buku, atau newspaper. Kalo digital ya konten digital yang kita tau artikel video audio, tv juga boleh.
Nulis hari ini kayaknya bakal singkat, karena ini tiba-tiba pilek. Aku dari sma sering banget pilek, apalagi jaman sekarang orang pilek itu di judge covid, jadi makin susah.
Kita pilek, karena reaksi tubuh terhadap sesuatu. Biasanya karena debu, dingin, atau bisa makanan.
Setelah selama ini, aku tau kalau aku pilek itu di picu oleh dingin, biasanya ac.
Selain itu, aku juga tau kalau misal seharian ini segar bugar, terus tiba-tiba malam-malam pilek, berarti tandanya aku juga harus istirahat.
Selama kalian hidup, pasti kalian pernah denger cerita orang yang konteksnya kayak gini. Ada orang yang dulu hidup didesa, lalu nekat merantau ke kota dengan hanya bermodalkan sepeser rupiah. Lalu dia kerja keras dan sekarang sukses.
Aku yakin cerita ini pasti kita pernah dengar. Karena cerita ini sangat banyak ya, jadi aku berpikir kisah ini bukan kebetulan. Apakah ini sebuah budaya “the hardway” untuk sukses untuk jaman dulu? Atau mungkin masih relevan sampai sekarang?
Mager banget nulis hari ini. Biasanya aku nulis abis kerja. Jam 6 sore tutup laptop, olahraga, makan, mandi. Jam setengah 8 buka laptop lagi buat nulis 5 menit. Tapi tadi ada kerjaan mendadak, buka laptop sampe jam 8an, baru mandi. Dan tadi jam 10an baru inget hari ini belum nulis.
Ketika rutinitas kita tidak dilakukan, kita merasa mending skip aja. Tapi jeleknya, ketika kita skip, sangat mungkin habit yang sudah berusaha kita bangun bisa saja mulai pudar.
Kita punya ketakutan masing-masing. Dan semakin kesini aku semakin percaya bahwa ketakutan itu lebih dominan ke ketidaktahuan.
Ketidaktahuan membuat kita menjadi takut. Takut gelap karena tidak bisa melihat? Takut bangun bisnis tapi gak laku? Takut nyetir mobil karena bakal nabrak? Kita lebih takut dari ketidakpastian daripada stay di ketidaksenangan.
Biasanya, ketika kita dihadapi dengan ketakutan, yang paling pertama keluar dipikiran kita adalah overthinking. Gimana kalau itu jadinya “x”, gimana kalo “y” itu nanti kejadian dll.
Kalau kita bicara tentang kecanduan, yang ada dibenak kita pasti kecanduan heroine, kecanduan rokok, dan kecanduan populer lainnya. Aku percaya kalau kecanduan itu yang tidak ada yang baik, karena apapun yang berlebih menurutku tidak baik. Tapi di jaman sekarang, yang teknologi ini semakin berkembang, sadly kecanduan itu makin banyak jenisnya.
Salah satunya yang dulu tidak ada namun sekarang ada: Kecanduan netflix, kecanduan youtube, kecanduan bokep kecanduan game, kecanduan sosmed. Dan masih banyak lagi.
Kalau kita bicara orang yang kreatif, orang yang jago gambar adalah salah satunya. Aku selalu kagum sama orang yang jago gambar, setidaknya bisa lah gak perlu jago.
Waktu kecil, walaupun aku gak pernah decent dalam menggambar, at least di circle ku selalu ada 1 atau 2 orang yang bisa gambar. Kakaku jago, temenku jago.
Dulu waktu kecil aku suka gambar, walaupun cuma gambar grafitti2an di belakang buku tulis, atau semacam monster-monster dropdead, tapi yeah masa kecilku ada history gambar menggambarnya lah.
Kadang kita heran, kok orang itu bisa kreatif banget? Kreatif biasanya masyarakat mengasumsikan karya orang itu murni berasal dari pikiran dia, tapi di era sekarang menurutku sangat sulit untuk mencari karya yang sangat sangat original.
Orang menghasilkan karya yang “kreatif” menurutku karena dia banyak mengkonsumsi sumber ilmu/konten lalu di remix dan membuat karya dari situ. Mereka sebenarnya ngambil secuil konten demi konten yang ada diluar sana, terus digabungin dan jadikan konten dia.
Film, komik atau novel, biasanya ada karakter yang ingin balas dendam, dan apabila dendam itu berhasil terbalas kita sebagai penonton/pembaca rasanya puas banget. Begitu juga di dunia nyata, rasa ingin balas dendam itu by design tertanam di otak kita. Tapi apakah balas dendam itu baik untuk dilakukan? Menurutku relatif.
Rasa ingin balas dendam itu muncul karena ada orang atau kelompok yang berbuat tidak adil kepada atau bertindak tidak menghargai kita dan orang terdekat,
Kan kita pasti sering denger kalimat ini ya “Dia care banget sama aku”. Care ya artinya peduli. Kita peduli terhadap individu lain, tapi coba kita gali lebih dalam.
Biasanya orang yang kita peduliin itu terbagi jadi bagian ini. Keluarga, orang yang berhubungan cinta-cintaan dengan kita (pacar/istri/suami), teman, dan individu lain yang pada kondisi tertentu kita “kasihan” dengan kondisi mereka.
Biasanya kita peduli terhadap orang itu, kita tidak mau terjadi hal buruk pada dia, dan kita mau terjadi hal baik pada mereka.
Sudah cukup clear ya sebenarnya kalau limiting believe itu bakal membunuh inovasi. Dari artinya saja sudah kontrakdisi. Limiting believe artinya kepercayaan atas keterbatasan, sedangkan inovasi adalah menciptakan sesuatu yang baru melewati batas terkini.
Orang-orang yang bisa berinovasi terus terusan menurutku tidak membatasi believenya dia.
Contoh aja salah satu inovator yang paling populer di dekade ini Elon Musk. Sebelum ada SpaceX, sudah ada Nasa yang bergerak dijalur yang sama. Tapi biaya production mereka selalu mahal,yaa karena bikin roket itu mahal dan hanya bisa dipakai sekali.
Hari ini banyak banget hal-hal yang bikin mood ku berantakan. Berita duka, dan semuanya seperti ngeselin hari ini. Sekarang aja lagi males banget nulis sebenarnya tapi aku paksain supaya tidak memutuskuan streak. Mood ini bener-bener bikin semuanya tidak sesuai rencananya/ Tapi apasih sebenarnya mood ini, coba kita lihat lebih detail.
Kalian pasti sering denger kalau orang bilang, “Enggak ah lagi gak mood” atau “Mood ku lagi bagus”. Ya mood itu sebenarnya perasaan.
Limiting believe adalah kepercayaan atas suatu hal yang mustahil itu terjadi. Tapi darimana kita tau kadar mustahil itu sendiri?
Limiting believe itu datang salah satunya dari lingkungan kita tumbuh kembang. Sewaktu kita kecil, kita sangat suka sekali menghayal, menghayal setinggi langit. Lalu ketika kita cerita tersebut kepada orang terdekat “Aku ingin jadi x”, atau “Gimana kalau kita bikin y itu bisa z”, gak jarang orang ybs bilang “Enggak usah, itu susah”.
Pasti kalian, disuatu kesempatan pernah denger kalimat yang konteksnya “Don’t chase, attract” Atau quote yang paling populer pada konteks ini: I Attract ,what belong to me will come to me. Tapi itu maksudnya gimana sih?
Kita langsung ke contoh: Kesuksesan.
Kamu jangan mengejar kesuksesan tapi biarkan kesuksesan itu datang padamu. Abstrak banget kan? Kita coba lebih detail lagi.
Kita ingin sukses, kita berusaha. Kerja, buka bisnis dll. Itu dibilang mengejar. Kalau attract?
Aku cukup bangga sama diriku (weis), karena tahun ini ada hal yang bisa aku lakukan dengan konsisten. Pertama olahraga, dan kedua menulis.
Olahraga, aku barbelan dirumah beli beban dan handlernya. Dari awal tahun lalu kalau gak salah, masih 5kg. Sekarang sudah 12.5kg. Slow growth better than no growth. Yang paling penting adalah aku bisa konsisten seminggu bisa 5-6x olahraga. Which is quite nice.
Untuk menulis, diawal tahun sudah sempat menulis setiap hari, tapi putus dibulan maret.