Fandy Aditya
Multitasking, sesuai namanya melakukan task secara multi. Melakukan pekerjaan secara bersamaan. Dulu aku ngerasa kalau ada sesuatu yang harus multitask, rasanya superior banget, ngerasa keren karena sibuk banyak kerjaan. Tapi sekarang aku against dengan multitasking.
Aku percaya kalau dengan multitasking, banyak kerjaan yang malah tidak selesai. Multitasking, dianggap society dapat meningkatkan produktifitas. Padahal menurutku tidak. Ada satu alasan besar kenapa aku against dengan multitasking.
Context switching, atau lompat-lompat ke tugas yang berbeda, itu costnya besar.
Aku baru nemu info di twitter, katanya hampir warga yang mesen grab food/go food itu 70%an karena emotional eating.
Emotional eating adalah kondisi dimana kita makan bukan untuk kenyang, bukan karena laper bukan untuk bertahan hidup tapi untuk alasan emosional.
Alasan yang biasanya dipakai untuk emotional eating adalah karena bosen, untuk menghidari stress atau sebagai reward.
Emotional eating ini sudah menjadi “disorder” atau kelaianan yang sudah diakui oleh dokter dan bidang kesehatan lainnya, yaa ujung-ujungnya bikin kita menjadi tidak sehat karena makan terus.
Tentu komputer dan internet merupakan inovasi terhebat abad ini. Kita sudah banyak banget dibantu oleh teknologi, kalau ada orang yang bilang teknologi ini malah bikin tidak terbantu atau nyusahin, aku yakin dia belum berpikir panjang buat nge-state itu.
Tapi kalau kita hubungkan Be Present dengan teknologi, teknologi ini bisa dibilang salah satu hambatan, bahkan hambatan terbesar kenapa kita tidak bisa “Be Present”.
Kita by design lagi selalu mencari sesuatu yang baru.
Kapan terakhir kalian makan, for the sake of makan? Cuma ngunyah, ngerasain rasa nasi (nasi ada rasanya loh!) dan tekstur lauk pauk? Aku rasa sudah lama banget, atau bahkan enggak pernah? Tanpa kalian sadari, pikiran kita selalu bekerja, memikirkan entah apa. Pikiran yang surfing inilah salah satu akar dari berbagai macam masalah, yang kita ciptakan sendiri.
Be present, tidak usah mikir aneh-aneh selain apa yang ada didepan kita. Apa yang ada sekarang, apa yang sedang kita lakukan.
Minggu ini ada kabar kalau salah satu jasa bot trading forex, ternyata membawa kabur duit clientnya. Usut punya usut ternyata selama ini perusahaan itu hanya money game.
Bot trading forex merupakan salah satu non-normal way to earn money, tapi apakah sesuatu yang non-normal itu selalu berakir tidak baik? apakah sesuatu yang “too good to be true” itu selalu scam? Menurut ku tidak.
Non-normal untuk mendapatkan duit, sesuai namanya, tidak normal, tidak sesuai society.
Emosi di indonesia konteksnya itu marah dan kesal. Walaupun sedih, senang dll itu juga termasuk emosi, tapi yang dibahas sekarang bukan itu.
Kenapa kita emosi? Salah satunya karena kita dirugikan. Contohnya, boss sering nyuruh overwork tanpa benefit tambahan atau tetangga bakar sampah terus asapnya masuk rumah. Tapi faktor utamanya biasanya karena sikap dari lawan bicara kita, yg paling sering ya salah tapi enggak minta maaf.
Kalau kita sudah terpancing emosi, menurutku kita kalah, karena kalau sudah pake emosi, kita dijauhkan dari solusi.
Pasti kamu sering denger “Kamu sudah aku anggap seperti saudara sendiri” atau “Kita ini keluarga”. Tapi apa sih sebenarnya keluarga ini, dan mengapa puncak dari hubungan tererat itu adalah keluarga?
Keluarga artinya selain menikah, kita memiliki hubungan darah. Keluarga yang masih dianggap dekat itu sampai saudara sepupu saja, mayoritas di indonesia sih seperti itu. Kita sebagai individu di dalam suatu keluarga secara default tertanam untuk, apabila kita adalah keluarga , maka kita harus saling membantu, rela berkorban, dan hal-hal yang kayak gitu lah.
2 hari lalu aku nyamperin teman kantor, kebetulan dia lagi ada tugas ke bali. Sekarang karena sudah wfh, sudah setahun lebih tidak ketemu.
Ngobrol sampe +- 2 jam non stop, yang di obrolin bukan tentang apa-apa, tapi tentang masa-masa dulu waktu sering ngantor bareng sebelum pandemi. Kita memang suka bernostalgia
Hampir mayoritas orang suka bernostalgia, kita sangat excited untuk bertemu teman lama, yang ujung-ujungnya pasti cerita tentang masa lalu.
Aku berani jamin semua orang suka bernostalgia, gak perlu masa lalu happy asal bukan traumatis.
Atau bagaimana setidaknya cara untuk mengurangi meeting:
Pastikan peserta meeting untuk membaca materi sebelum meeting. Biasanya meeting, sebelum mulai diskusi ada pemaparan terlebih dahulu. Men-share materi pemaparan terlebih dahulu kepada peserta meeting, bisa memangkas pemaparan dalam meeting. Selain itu peserta meeting bisa lebih matang dalam dan diskusi bisa lebih dalam. Tapi kalau itupun peserta meetingnya mau baca, harus dibudayakan. Dokumentasi meeting sebelumnya. Meeting itu suka melenceng, membahas suatu topik yang sudah pernah dibahas.
Ada beberapa kesamaan dari pekerjaan-pekerjaan yang ada. Meeting.
Kalau diliat kenapa meeting itu ada at the first place, untuk mempertemukan sekumpulan orang, untuk membahas sesuatu. Sesuai artinya, “Meet” bahasa indonesianya bertemu.
Tapi meeting itu sekarang (mungkin dari jaman dulu) makin di-abuse. Sangat sering waktu 8 jam kita 60% nya isinya meeting sana-sini.
Meeting, ketika offline lebih ribet lagi, selain kita meluangkan waktu, kita juga mesti memikirkan akomodasi. Kalo iya meetingnya ada di gedung yang sama, kadang meetingnya itu ke kantor pusat, yang makan waktu, siang-siang macet dan pengeluaran ongkos grab car.
Aku paling susah untuk belajar dari buku. Aku suka baca buku, buku non-fiksi. Tapi kalau buku tentang ilmu pengetahuan, misal tentang IT, susah banget rasanya belajar dari sana. Aku lebih memilih belajar lewat artikel singkat, atau lewat video youtube.
Tapi menurutku ini bukan preferensi ya, kebanyakan orang pasti merasa lebih mudah untuk belajar melalui video atau artikel yang sudah di-simplified. Tapi buku akan selalu menang di aspek detail.
Transfer Knowledge dari buku itu sudah ada dari jaman dulu.
Jumat kemarin aku menghadiri pernikahan temen kerja. Selama perjalanan kesana, aku melihat banyak banget yang nikah dihari yang sama, yaa jelas karena menikah disini mengikuti hari baik, dan hari baik di Bali (dan di Jawa juga) itu sama. Ada yang megah, ada yang biasa, ada yang rame sampai bikin macet. Kita memang suka events.
Events atau konteksnya disini perayaan, sudah sangat menyatu di urat nadi manusia. Mungkin kalau untuk jaman dulu namanya ritual.
Operating System Tags: Fundamental Date: October 10, 2021
Chapter 1
Chapter 2
Aku baru tau istilah “NFT” itu tahun ini, dan memang baru ramai dibahas itu tahun ini. Jujur secara pribadi belum pernah riset niat tentang NFT, cuma baca-baca singkat info yang seliweran di sosmed tapi harusnya aku dapet maksudnya.
NFT, atau singkatan dari Non Fungible Token yang maknanya adalah suatu token/barang yang tidak bisa dibagi-bagi. Tapi dalam konteks sesungguhnya apa sih itu NFT?
NFT itu kalau di barang real, salah satunya adalah lukisan asli Monalisa, karena itu ada 1 dan itu tidak bisa dipecah-pecah menjadi beberapa bagian.
Kita melakukan negosiasi setiap hari. Kalau kita berbicara negosiasi, yang ada dipikiran kita adalah negosiasi meyakinkan pemodal agar menyuntikan modal untk bisnis kita, bernegosiasi dengan penculik untuk membebaskan tawanan dan hal-hal besar lainnya. Bukan itu. Tanpa kita sadari, hampir semua hal yang kita lakukan, yang memiliki lawan bicara, berhubungan dengan individu lain adalah negosiasi.
Kita mulai dari hal simpel. Pagi, jam sudah menunjukan pukul 7, tapi kamu belum bangun. Ibumu sudah membangunkanmu, tapi kamu menolaknya dan meminta bangun 30 Menit lagi, itu negosiasi.