Fandy Aditya
Yang kita punya hanya waktu. Sebuah kalimat penyemangat buat kamu para middle class untuk tetap menggapai mencoba menggapai mimpinya, atau kalimat untuk menjustifikasi para high class bahwa harta dan kekuasaan yang dia miliki itu tidak dia miliki. Crab bucket mentality. Aku memilih mengartikan makna ini ke yang pertama.
Yang kita punya hanya waktu. Sejujurnya apa yang membedakan orang yang lebih “sukses” dengan orang yang belum? Yang menyamakan adalah, mereka semua punya waktu.
Worry atau cemas itu adalah reaksi dari otak dan tubuh kita atas pertemuan dengan situasi yang mengundang stress. Seringkali worry adalah takut akan masa depan karena serangkaian fenomena atau informasi yang kita dapatkan sekarang kita coba proyeksikan dan mendapatkan masa depan yang tidak mengenakan.
Worry itu sebenarnya reaksi yang wajar sebagai manusia, sudah ter-wired di otak kita. Apabila kita tidak punya rasa cemas, kita akan sering terlibat kedalam marabahaya, atau terlambat mengantisipasi kegagalan di masa depan.
Akhir-akhir ini aku terlalu main sosmed. Setiap minggu yang biasanya dikirim report sama iPhone berapa rata-rata screen time, itu terus meningkat terus. Dan peningkatan itu gara-gara sosmed. Aku udah beberapa kali bahas kenapa sosmed bisa bikin kita kecanduan.
Free Write 5 Minutes: Recommendation system is dangerous
Negatif tiktok
Free Write 5 Minutes: Quit Sosmed
Tapi aku sendiri sekarang kembali lagi, bahkan ini adiksi yang baru, terutama tiktok Tiktok itu ibarat snack, yang selalu pingin “dimakan” apabila lagi bosen.
TLDR: Hanya butuh 2 minggu sampai habit itu terbentuk, dan habit itu memudar.
Aku di Jakarta udah 1 bulan, dan beberapa habitku mulai berubah, karena lingkungan baru sangat mempengaruhi kebiasaan. Ada yang kusesali, dan ada yang jadi opportunity juga.
Kebiasaan yang mulai memudar adalah olahraga. Karena semenjak di jakarta WFO terus, dulu yang olahraga 5x seminggu, sekarang cuma pas weekend. Pas weekend pun kadang-kadang cuma sabtu atau minggu aja sekali. Jadi dari 5x seminggu, jadi 1x seminggu.
Senin lalu, aku berangkat balik ke Jakarta. Melihat pemandangan Bali via jendela kaca pesawat sebelum meluncur di pagi hari. Dan betapa berbedanya ketika sampai di Jakarta. Seperti tone-tone mexico yang di potray oleh film film america. Berkabut, abu-abu.
Mungkin orang yang sehari-hari di jakarta tidak merasakannya tapi, jakarta bener-bener berpolusi, polusinya enggak main main. Pagi siang sore seperti selalu mendung, tapi tidak hujan. Dan kenapa aku bilang bener berpolusi, terasa ketika bernafas.
Tips mengantre. Apabila kita dihadapkan dengan beberapa garis antrian, ada beberapa tips yang bisa kita gunakan supaya kita bisa cepat atau bisa memilih antrian mana yang sekiranya bisa selesai lebih cepat.
Kemarin, mungkin sekitar minggu lalu aku balik ke Bali. Di Bandara, dan selalu saja dihadapkan antrian checkin. Dan selalu saja gagal memilih antrian yang lebih cepat, padahal terlihat lebih pendek tapi ternyata lama. Belajar darisana, ini beberapa tips untuk memilih antrian:
Mungkin beberapa hari kedepan aku akan sering lembur. Jadi ingat ketika awal-awal bikin project 2 tahun lalu, sama kayak gini. Dan semoga ini cuma lembur ini buat awal-awal project saja.
Sekarang jam 01:00 dini hari di jumat malam, dan aku masih ngerjain kerjaan. Karena deadline progress senin, dan supaya bisa best effort untuk ngasi progressnya.
Lembur ini mungkin terjadi karena ketidaktepatan planning dan eksekusi. Di planning kita bilang bisa selesai pada tanggal sekian, tapi setelah eksekusi, ternyata jadi jauh lebih lama.
Yang sebenarnya membuat kerja tidak enak adalah, impossible task, deadline ketat, dan instrksi untuk melakukan sesuatu yang ribet, padahal bisa dibikin lebih simple dan mudah. Setelah aku kerja 4 tahun lebih, mungkin ini yang bikin kenapa kerja bisa jadi tidak enak.
Pertama kita bahas impossible task. Ketika kita berhadapan atas, kerjaan atau tugas yang diberikan dan ternyata tugasnya itu diluar normal, tentu saja kita jadi males. Pertama, karena kita tau, betapa berusaha kita untuk menyelesaikan itu, itu tidak akan pernah bisa terselesaikan.
Semenjak aku balik ke Jakarta aku mulai menghitung hari lagi. Kapan weekend, kapan senin. Kapan pulang kerja, kapan jam 7 pagi (bangun). Aku kembali menghitung hari. Which means, kalau dari kacamataku, aku kurang menikmati hari-hariku disini.
Berbeda ketika aku masih WFH. Aku enggak pernah ngecek hari, bangun tidak pernah pakai alarm. Sabtu minggu sama seperti hari-hari biasanya. Dan ya, seingetku most of the time aku tidak pernah menghitung hari pada saat itu.
I identified as orang yang hoki. Tapi sebenarnya, terlalu banyak hal dan sering terjadi ketika momen momen aku gak hoki.
Ketika lagi makan di restaurant, enggak jarang pesananku terlupakan dan akhirnya nunggu lama. Kunci kamar kosku ketinggalan di kamar, dan aku harus bolak balik turun tangga untuk minjem kunci cadangan pak satpam. Terus balikin lagi kebawah. Btw kamar ku ada di lantai 5. Kemarin waktu aku sedang genting gentingnya perlu ke kantor, semua tiket kereta habis, dan aku akhirnya mesti naik grabcar yang cost $$.
TLDR: Semakin baru kegiatan tersebut, akan semakit sakit yang kita rasakan. Semakin kegiatan itu menjadi kebiasaan, semakin biasa juga yang kita rasakan.
Semenjak aku di jakarta, aku sudah tidak 5 hari olaharga. Paling cuma sekali seminggu. Seminggu lalu pas dapet momen pulang ke Bali, aku coba olahraga lagi. Dan wow, esok harinya badan semua encok. Gila ya. Cuma absen olahraga 2 minggu, badan ini udah perlu beradaptasi lagi.
Disini aku kembali mikir, kita ini memang harus terus melakukan kebiasaan kita, sebelum kebiasaan itu menjadi sulit untuk dilakukan.
Aku sudah mencapai longest streak tidak menulis. 8 hari dari tanggal 17 Banyak judul yang parkir tapi tidak ku tulis tulis juga haha. Kalau mau tau penyebabnya, dari aku tentu saja karena kerjaan. Sudah mulai wfo, dan tiap pulang kantor mulai capek lagi. Rasanya sudah males keluar dari kasur ketika udah mandi dan makan cantik haha.
Tapi disisi lain, kalau mau ditarik keatas, satu hal yang bikin sebuah kebiasaan itu menjadi hilang karena adanya sesuatu yang tidak biasa.
Semakin kesini aku semakin yakin, yang pasti itu adalah dimana ketika kita menghembuskan nafas terakhir. Kematian itu akan sering terjadi, menakutkan tapi itu hal yang paling pasti. Diseluruh penjuru dunia setiap hari pasti ada. Seperti ketika kita baru belajar nyetir, kita takut akan jalan raya dan keramaian, tapi bisa dilihat seberapa banyak mobil dan orang yang bisa mengendarai mobil.
Kita memang merenung atas kehilangan, tapi sebenarnya pengalamannya itu bervariasi terhadap setiap orang.
Seminggu lalu aku pulang kampung, pagi pagi berangkat ke bandara soetta, terus naik grabcar dan drivernya bilang, pak mau lewat toll? Siapin e-money.
Aku langsung entah kenapa kepikiran baru sekarang setelah bertahun tahun naik tol berkesempatan. Kenapa kita bayar toll?
Toll itu kan sebenernya fasilitas publik yang diberikan oleh pemerintah dari pajak negara. Dibuat jalan toll. Tapi kenapa sekarang tiap orang yang mau masuk kesana disuruh bayar lagi? Gak mahal dan gak murah emang, tapi kalau sering kesana ya bakal ada expenses khusus juga?
Keberanian adalah bukan ketiadaan atas ketakutan. Keberanian itu adanya ketakutan tapi tetap dilakukan. Aku sekarang merasa kita harus sering terekspose momen momen keberanian karena setiap keberanian yang dilakukan bisa menjadi salah satu building block untuk berkembang, karena apabila ada takut, ada ruang untuk tumbuh.
Aku sering bilang kepada orang-orang, apabila deg degan, itu berarti tanda excited. Tapi deg degan itu sebenarnya bentuk lain dari ketakutan, tapi mesti tetap dilakukan. Ada elemen keharusan disana,