Berbohong

· 1 minute read

Waktu aku kecil aku suka sekali berbohong. Bohong yang kayak sekedar nyembunyiin nilai jelek ke ibu (At that time, it’s a big deal) atau bohong ke teman supaya cerita menjadi lebih menarik. Yang aku sadari adalah, ketika berbohong kita harus berbohong lagi agar kebohongan pertama itu tetap masih relevan. We will need to constantly thinking to make lies. Bohong bikin sakit kepala.

Ada istilah white lies, comforting lies dll. Berbohong demi kebaikanlah. Tapi bohong adalah bohong mau tujuannya apapun. Cepat atau lambat kalau orang itu tidak kreatif untuk bohong kedua dan ketiga, kebohongan bakal terungkap. Semakin lama terungkap, semakin berat sangsi sosial dari society, semakin sakit kepala juga kita karena mesti berpikir kreatif untuk bohong selanjutnya

Sekitar SMA kelas akhir, aku mulai sadar bohong hanya bikin sakit kepala. Oleh karena itu aku kurangi. Aku masih berbohong, tapi aku sekarang lebih mikir. Apakah bohong ini memiliki after effect? Apakah aku mesti menutupi kebohongan ini dikemudian hari, apakah itu sesuatu yang ribet? Kalau jawabannya iya, aku bakal jujur diselingi ketawa-ketawa biar gak dijudge-judge amat.

Kebenaran itu memang menyakitkan di depan, tapi bohong nyakitinnya pelan-pelan dan selamanya, sampai kebenaran terungkap. Arak yang bohong~

comments powered by Disqus