Bersosial

· 3 minute read

Ketika aku kecil aku lebih milih main ps seharian daripada bersosial. Darisana aku berasumsi bahwa aku tidak suka bersosial, dan terus lanjut lanjut dan akhirnya aku tau istilah introvert. Aku mengakui diri sebagai introvert. Klaim itu membuatku tidak menyukai sosial sebagai pembenaran. Tapi sekarang aku sadar bersosial itu wajib.

Ketika aku mendapatkan hasil test 16 personalities INFJ aku mikir: “Aku ini introvert, wajar dong aku gak suka bersosial”. Tapi kalau di kilas balik, aku bukannya tidak bersosial kayak hikikomori di Jepang.

Aku berteman. Dari SD Sampai Kuliah, aku tidak menghabiskan hidupku di pojokan ruang kelas, terus dengerin lagu pakai headset di dunia sendiri. Aku tidak kuliah pulang kuliah pulang, ada kegiatan mahasiswa lain yang aku ikuti. Ya benar, introvert itu tidak sama dengan ansos.

Tapi ini, semakin kesini aku semakin merasa melakukannya sendiri. Kalau sesuatu tidak bisa kulakukan, berarti itu memang bukan sesuatu yang memang harus kulakukan. Gak usah minta tolong. Arogan sama bos, nothing to lose. Aku tidak suka hirarki. Semua sama, kalau mau minta tolong aku, aku gak pamrih, jangan ngelunjak. Aku juga gak bakal minta tolong kamu. Sempat aku mikir gitu.

WFH melipatgandakan itu semua. Remote working sangat masa depan. Kita tidak perlu ketemu orang untuk tetap bisa menyelesaikan pekerjaan, berkolaborasi. This is my way.

Tapi ada sedikit blitz di otaku, memberikan ketidaknyamanan, seolah olah untuk memberikan sinyal untuk: ini gak boleh dilakukan terus menerus.

Manusia itu makhluk sosial. By default. Kita beli sesuatu karena ngeliat banyak orang yang beli. Kita butuh sesuatu karena ngeliat banyak orang yang butuh itu. Kita suka kalau foto kita di like banyak orang, sedih kalau sebaliknya. Kita ngeliat di Instagram orang pada happy happy bener, terus kita ngaca ngeliat diri sendiri “kok aku mengenaskan kali ya”. Kita memang selalu memandang sesuatu sebagai multiplayer, kita melihat apa yang dilakukan orang-orang, baru kita ikut untuk melakukan, menjustifikasi darisana.

Ada alasan kenapa social distancing namanya diganti menjadi physical distancing. Ada alasan kenapa orang orang tidak betah berdiam diri terisolisasi didalam kamar. Ada alasan kenapa orang-orang pada demo physical distancing itu useless. Aku juga sempat baca, ada orang melakukan experiment “tarzan”. Resign kerja, cabut naik van ke hutan. Tidak membutuhkan peradaban katanya. Berakhir bunuh diri di bulan ke 18. Case semua itu ada alasan. Karena itu menyakitkan. Sifat alami kita direnggut dan disuruh hidup tanpa itu. Kalau mungkin itu satu satunya cara, mungkin kita masih bisa endure. Tapi kita tau kalau kayak “bisa kok gak kayak gini, tapi kita malah gini”, kesakitannya menjadi dua kali lipat.

Bersosial lah. Kita memiliki persepsi, “bersosial” ini sesuatu yang besar, yang merepotkan, yang extrovert banget. Luangkan waktu untuk ngobrol sama orang 1-3 se-hobby aja itu udah bersosial. Keuntungan bersosial supaya kita tidak gila. Keuntungan kedua adalah, informasi. Terlalu banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita lakukan di lifetime kita. Cara kita bisa tau tentang sesuatu yang tidak kita lakukan adalah dari cerita orang lain. Dengarkan cerita, dan berceritalah.

Disini terkesan menyendiri itu jadi gak banget. Ada momen dimana menyendiri itu perlu. Ketika kita membutuhkan berpikir dengan tenang. Setiap pikiran dan yang tindakan yang kita punya, 99% itu dipengaruhi oleh emosi kita. Sendirian mereduksi pengaruh emosi dan membuat berpikir dan bertindak ke sebagaimana mestinya. Itu benefit utama dari menyendiri. Kalau kamu merasa perlu itu, lakukan. Kalau tidak, jangan lupa bersosial.

comments powered by Disqus