Ketika manusia baru lahir, manusia ibarat canvas kosong. Setiap observasi, setiap larangan setiap pujian akan mengisi canvas itu dengan berbagai garis dan warna. Ketika manusia sudah besar, akan ada banyak pemikiran yang dia pikir berasal dari diri sendiri, tapi sebenarnya pikiran itu adalah pikiran yang sudah didikte oleh dunia, even sebelum dia bisa mengingat.
Tidak bisa dipungkiri kita memang terlahir dan kita didikte oleh dunia. Dunia yang sebenarnya mungkin memang ada maksud untuk mendikte kita itu tapi juga gak jarang dunia yang mendikte kita juga sebenarnya di dikte oleh dunia lain yang even dia gak sadar sudah terdikte. Kita dikasi tau oleh orang tua bahwa tidak boleh melakukan a,b,c. Darimana orang tua tau bahwa tidak boleh melakukan a,b,c? Dari observasi mereka? dari pengalaman? apa yang di observasi? dari nasehat orang tua mereka?, berarti kakek nenek kita? atau ada lagi budaya yang lebih jauh lagi “Nak mule keto” yang berujung tidak memberikan reasoning yang bisa diberikan ke anak.
Aku percaya pada saat kita kecil even bayi, kita tidak akan bisa terlepas dari ini. Kita pasti kena dikte. Namun setelah menjalani hidup sedikit lama kita semakin sadar bahwa, banyak pemikiran dan tindakan kita, tidak berasal dari kita sendiri, tapi bawaan dari luar.
Tapi itu belum tentu. Orang yang sudah lebih lama hidup belum tentu sadar. Hanya sedikit orang yang sebenarnya sadar akan hal itu. Dan kalian akan jadi salah satunya. Ada yang sadar tapi merasa helpless dan tidak apa-apa, ada juga yang sadar dan berusaha untuk break that chain.
Well sebenarnya apabila kita merasa tidak capable, lebih baik kita tidak tau. Karena apabila kita tau kita sudah di dikte dan kita merasa helpless, itu malah bikin suffering karena kita merasa ada kontrak, harus melakukan sesuatu untuk mencapai itu kalau enggak kita sengsara.
Sebenarnya apa yang dikasi tau oleh dunia itu, tujuannya supaya tidak terjadi chaos. Tapi supaya tidak terjadi chaos itu juga berdasarkan siapa? Lebih sering orang yang terdikte itu lebih sering merugi. Merugi karena, terlalu banyak pemikiran dan aksi lain yang harusnya bisa dilakukan agar mendapatkan hidup yang baik, tapi tidak dilakkan karena ketakutan atas narasi yang diberikan, atau bahkan karena ketidaktahuan.