Aku kemarin ke nikahan teman. Di griya, atau secara teknisnya menggunakan full vendor lah. Dari upacaranya sampai pernikahannya.Aku dapet info nikahannya menghabiskan sekitaran 50 juta.
Man, nikahannya mewah. Kalau dengan 50 juta sudah mendapatkan apa yang aku liat kemarin, wah ini benar-benar good deals sih. Resepsi include catering makanan, tempat atau aula, snack, dekorasi, booth foto. Benar-benar good deals. Steal deal malah ini. No brainer ini sebenarnya kalau milih mau nikah di griya atau di rumah. Tapi tentu saja tantangannya adalah: Judge sosial dari keluarga dan adat.
Masyarakat masih melihat bahwa melangsungkan pernikahan menggunakan full vendor, karena ingin menghemat secara halus seperti “pelit”, atau “tidak punya uang”. Valid aja sebenarnya. Tapi kalau “menghemat” itu bisa mendapatkan fasilitas sekelas hotel, dibandingkan nikah secara adat biasa tapi menghabiskan 4-10x lipat dari nikah dengan full vendor dengan result yang standar dan biasa aja jadi milih mana? Aku yakin orang-orang yang menjudge itu belum pernah diundang sih. Setelah pernah diundang dan tau perbandingannya, harusnya ini tidak perlu di pertanyakan.
Jadi kalau nikah dengan adat biasa, banjar atau kampung yang membantu prosesi pernikahan kita, juga kita wajib memberikan imbalan karena sudah membantu. Kalau nikah di griya, imbalan itu yang tidak mereka dapatkan. Solusinya menurutku gampang: Undang aja semua ke griya. Sama-sama dapet imbalan berupa pesta, tapi gak perlu repot bantu-bantu.
Tapi disisi lain nikah di griya itu bagus karena murah. Kalau enggak murah, menurutku orang-orang gak mau nikah menggunakan jasanya. Tapi turn out sudah menawarkan kemurahan, plus fasilitas yang diberikan untuk sangat melebihi harga yang dibayarkan. Mungkin bisnis modelnya beda.
Temenku yang aku ajak kesana langsung mematangkan niat: “Dua tahun lagi aku nikah disini aja lah, aku debat-aku debat dah keluargaku” gitu katanya.
Modern problem (nikah mahal) require modern solution (nikah di griya). Tapi ada halangan judge sosial.