Internal vs External Success

· 2 minute read

Aku baru habis baca artikel bagus. Gini singkatnya:

Pada tahun 1960-an, sebuah surat kabar di inggris mengadakan sayembara. Siapapun yang bisa mengelilingi bumi menggunakan sail atau boat, dia bisa mendapatkan £ 5000. That a lot of of money pada jamanya.

Akhirnya ada 3 orang yang ikut.

Peserta A adalah seorang engineer. Dia bikin kapal sendiri, indie banget lah pokoknya. Tapi karena dia memiliki limitasi di finansial, dia menggandeng sponsor.

Dia memberikan janji:

“Kalau aku gak menang, ambil dah semua harta kekayaanku”.

Pernyataan itu dibikin publik. Fast forward ketika dia sedang berlayar, sudah sampai di tengah perjalanan, kapalnya itu rusak. Dia cuma punya 2 pilihan. Balik pulang, terus menanggung malu bangkrut dan jatuh miskin. Atau dia kabur dari kompetisi itu. Tapi dia milih ke pilihan ke 3, bunuh diri. Dia tidak kuat akan tanggung jawab dan tuntutan dari media yang menyorot, which is yang dia buat sendiri.

Peserta B memang seorang sailor. Fast forward sudah di tengah perjalanan dia dilema. Dibuku diarinya dia menulis:

“Aku memang suka sailing, aku memang mau mengitari bumi. Tapi aku mau bebas. Aku sailing, ya karena aku suka sailing, bukan karena hadiah, bukan karena di atur oleh segelintir pihak.”

Akhirnya dia tidak mengakhiri perjalanan, dia keluar jalur, dan berhenti di Taiti dan bertempat tinggal disana, hidup bahagia.

Peserta C adalah pemenangnya. Tapi mengikuti paradox kompetisi pada umumnya, runner up ataupun juara 3 at the end of the day lebih populer daripada juara 1. Lebih punya cerita. So the winner is just the winner, thats it, gak ada cerita dari dia.

Dua tokoh pertama itu bisa kita contohkan atas eksternal dan internal sukses.

Peserta A, yang menginginkan eksternal sukses, alias sukses yang diakui sukses oleh orang lain, akhirnya terbebani dan berakhir tragis.

Peserta B, yang bodo amat, yang hanya ingin melakukan apa yang dia inginkan, apa yang dia anggap itu sukses, dan berakhir bahagia.

Aku yakin di moment itu kita akan menganggap peserta B itu weirdo. Tapi sering sekali ada case bahwa yang aneh, yang berbeda akan berakhir lebih baik.

Entah kenapa by default kita akan memilih jalur eksternal sukses. Karena kita sebagai manusia memiliki nature untuk berkompetisi. Kita akan melihat jalur internal sukses adalah jalur yang naif.

Tapi turn out, segala hal yang kita hadapi, segala masalah yang kita hadapi sekarang ini hanya intrapersonal diri saja.

Would you rather be the world’s greatest lover, but have everyone think you’re the world’s worst lover? Or would you rather be the world’s worst lover but have everyone think you’re the world’s greatest lover?

Quotes somewhere I found on the internet. Quite relevant.

comments powered by Disqus