Kesakitan dan kebiasaan

· 2 minute read

TLDR: Semakin baru kegiatan tersebut, akan semakit sakit yang kita rasakan. Semakin kegiatan itu menjadi kebiasaan, semakin biasa juga yang kita rasakan.

Semenjak aku di jakarta, aku sudah tidak 5 hari olaharga. Paling cuma sekali seminggu. Seminggu lalu pas dapet momen pulang ke Bali, aku coba olahraga lagi. Dan wow, esok harinya badan semua encok. Gila ya. Cuma absen olahraga 2 minggu, badan ini udah perlu beradaptasi lagi.

Disini aku kembali mikir, kita ini memang harus terus melakukan kebiasaan kita, sebelum kebiasaan itu menjadi sulit untuk dilakukan. Seperti roda, harus terus bergerak karena kalau sempat diam akan butuh tenaga ekstra untuk menggerakannya. Terlalu banyak persamaan ataran membangun habit dan hukum alam, seperti fisika di dunia ini dan itu membuatku semakin yang bahwa itu ada suatu kebenaran.

No pain no gain. Pain nya sebentar, tapi kalau enggak dilakukan balik lagi jadi pain. Jadi semakin kebiasaan itu sudah terbentuk, sebenarnya kita membuat kontrak kepada tubuh kita, agar ini lho kegiatan yang bakal sering kulakukan, jangan gunakan energi lebih disini karena seiring berjalannya waktu dia akan masuk ke sistem yang otomatis. Well, mungkin kayak gitu.

Disamping kembali melakukan kebiasaan yang tertunda, melakukan sesuatu pure yang baru itu juga akan memberikan kesakitan. Mei ini aku beneran tempur lagi dengan otak ku. Membersihkan debu-debu, dan mengencangkan lagi baut baut otak untuk full mejamah hal baru dan hal lama yang dibutuhkan kembali. Nyut nyutan terus, tiap idle masih terus berfikir, dan terbentur terbentur, dan akhirnya sekarang setelah berhasil, hal itu menjadi lebih mudah.

Jadi mantra kali ini: it will be hard before it becomes easy.

comments powered by Disqus