Istilah narsis yang kita tau adalah orang yang di sosial media suka mengupload foto dirinya, menceritakan tentang dirinya dan apa yang dia punya demi mendapatkan perhatian atau atensi.
Tapi kalau aku bilang kita itu semua narsis gimana?
Self love, kita mencintai diri kita yang kayak gini. Bukannya narsis juga mencintai dirinya sendiri? Dimana bedanya? Bedanya di kadarnya self lovenya.
Self love level rendah apabila kita mencintai diri kita, tapi kita tetap butuh validasi dari luar supaya tidak ragu. Butuh konfirmasi bahwa memang benar, kita, personality dan achievement kita itu memang pantas untuk untuk dicintai. Di level tinggi. Kita mencintai diri kita tanpa harus dikonfirmasi dari luar.
Kita suka disanjung. Kita suka dipuja-puja. Kita suka diberikan kata-kata baik. Itu semua atensi. Kita itu narsis. Dari fakta ini, kita tau bahwa kita semua narsis. Tapi ada kadar level yang membedakan kita dengan orang yang “narsis” yang kita tau secara pengertian di masyarakat.
Sama-sama narsis. Tapi narsis yang kita tau itu adalah self-love level rendah. Kenapa itu terjadi? Yah lagi-lagi karena kita ini memang makhluk sosial, udah sering sekali aku bilang ini. Kita bergerak, berpikir dan bertindak berdasarkan sekumpulkan kelompok masyarakat yang ada. Kita dipengaruhi oleh itu. Para “narsis” terpengaruh terhadap ini lebih tinggi. Jangan mengelak, ini flaw kita sebagai manusia, sadari.
Lalu apa, apa yang bisa kita manfaatkan dari fakta ini? Minimal sadari. Kalau kalian merasa self love level rendah, tingkatkan dengan mungkin mengubah lingkungan kalian sekarang, dan mengubah kebiasaan, dan juga tentu saja meditasi. Disisi lain aku juga percaya ada akar masalah dari masa lalu kita yang bisa bikin kita seperti itu. Kalau kalian merasa self love sudah di level tinggi dan sampai tumpah tumpah, convert itu menjadi empati.