Mau marah tapi malah nangis, marah tapi sampai banting banting barang, suka nyindir dan berbagai macam tingkah jelek lainnya. Ada kesaamaan tingkah laku diatas dengan bayi nangis karena haus mau minum susu. Tidak bisa mengekspresikan atau mengkomunikasikan pesan, emosi dan keingingan.
Kenapa kita tidak bisa mengekspresikan emosi atau keinginan itu alasannya ada dua. Karena memang emosi dan keingingan itu hal yang tabu, tidak umum dilakukan di lingkungan sosial sekitar, atau ya kitanya aja memang jarang aja melakukan itu. Gak terbiasa.
Misal, budaya memuji anak itu disini cukup jarang. Implikasinya adalah, penyampaian pesan yang lewat jalur lain yang biasanya lebih inefisien dan tidak elegan, menyebabkan pesan yang diterima terdistrosi ke penerima
Efeknya enggak cuma ke dia dan lawan, tapi juga ke sekitar. Misal kita tidak bisa mengkritik dengan bijak dan aman di kantor. Sangsi bahkan tidak hanya sosial. Implikasinya kantor menjadi sarang pasif agresif. Ada ruang anonim untuk mengkritik malah dipakai untuk pelampiasan. Pesan jadi distorsi, bahkan penerimanya pun tidak sesuai. Racun mulai menumpuk.
Dengan informasi ini kita bisa memahami bahwa apabila kita berhadapan dengan situasi yang seperti itu, dan berhadapan dengan orang yang seperti itu: pahami kenapa-nya.
Kebijaksanaan kita menyampaikan keingingan itu tidak bisa disamaratakan. Itupun dengan orang yang sudah memiliki kedewasaan emosi juga tetap tidak bisa, ya karena sesimple mereka tidak terbiasa.
Pahami, karena orang yang seperti itu pasti ingin kita paham pesan yang ingin ia sampaikan. Tapi tentu saja memahami tidak cukup apabila cara mereka mengekspresikannya sudah di level ekstrim.
Apabila hubungan dengan situasi atau orang tersebut sepadan dengan jalan yang penuh sabar dan penuh pengorbanan yang akan dilalui, maka lakukan terus. Apabila tidak ada jalan kedua: kabor.