Melatih Kebiasaan WFH lagi

· 2 minute read

Setelah 1.5 bulan full SFO, aku kembali ke WFH, well at least setengah WFH. 1.5 bulan wfo membuatku lupa bagaimana remote working ini semestinya dilakukan.

Bekerja WFH dan WFO itu tentu saja berbeda. Paling keliahatan itu di cakupan kolaborasi. Yang WFO itu lebih ke langsung, yang WFH itu lebih ke async.

Meeting 1 jam offline, dengan meeting 1 jam online jauh lebih kerasa capek yang online. Jadi, meeting over 1 jam pada saat online akan tidak efektif.

WFH itu the first citizen nya adalah collaboration tools. Di dalam collaboration tools ada dokumentasi. Dokumentasi membuat kita bisa bekerja dengan async. Kita tidak terdistraksi dan energi bisa dilakukan langsung untuk bekerja melakukan actual work.

Tapi apabila ingin async collaboration, tentu ini juga perlu kesepakatan antar tim, kalau tidak semua memegang mindset async, yaa bakal bolong sana sini, tetap bisa bekerja tapi tidak memaksimalkan potensi si async ini.

Jangan sepelekan notifikasi chat, karena itu juga bisa menganggu produktifitas. Ibarat kalau kerja offline notifikasi chat itu rekan yang nepok punggungmu, nyamperin kamu atau ngajak diskusi langsung ketika kamu lagi deepwork ngerjain sesuatu. Distraksi. Yang bedanya tentu saja kita tidak bisa mengabaikannya kalau offline. Kalau online kita bisa ignore. Ini yang aku lupakan 1-2 hari awal. Terus membalas pesan yang berdatangan silih berganti, sehingga waktu untuk mengerjakan kerjaan serasa kurang.

Teknik yang dulu aku pakai: biarkan chat atau notifikasi apapun itu dalam kurun waktu tertentu (biasanya 30 menit/sejam) Lalu setelah itu akan kumpul semua, dan baru kita balas dan solve satu-satu.

Urgensi. Bedakan cara meresponse sesuatu yang memang perlu urgensi lebih. Biasanya kita tertipu kalau ada yang telfon mendadak, berarti itu urgen. Entah cuma mau diskusi, atau diajak call meeting tanpa jadwal. Kita, yang akan melatih kolaborasi ke rekan lain dengan response kita.

Saranku caranya kita pelajari dulu, jadi kita ikut, dan terima asap panggilan-panggilan tersebut. Lalu kita simak, apakah panggilan itu, dari sumber itu beneran urgen atau enggak. Kalau urgen, bisa kita tandai bahwa in the future kalau ini kejadian lagi, berarti kita mesti asap. Kalau ternyata enggak, yaa kita tandai juga bahwa kedepannya ini bisa kita kesampingkan. Dan tentu saja sampaikan juga ke rekan kerja bahwa, telfon hanya untuk urgen, kalau enggak bisa gunakan chat atau dokumen-dokumen pendukung. Ini juga yang aku lupa ketika kembali WFH.

Yah, WFH memang perlu penyesuaian sama seperti kebiasaan lainnya, tapi apabila sudah kembali ke flow, WFH is still the best.

comments powered by Disqus