Waktu SMA aku ikut KSPAN. Kelompok Siswa Peduli Aids Dan Narkoba. Kalau ku ingat-ingat materi dan pelajarannya sangat negatif. Maksudnya, kita dipaparkan oleh aids, sex bebas, penyimpangan seksual, narkotika, efek enaknya, efek jeleknya dan berbagai macam materi yang berhubungan tentang itu. Menurutku sangat risky, kalau memaparkan informasi seperti itu ke anak remaja yang, masih lagi semangat-semangatnya berpetualang dan mencari tau.
Tapi ada satu kalimat yang disampaikan waktu itu dan aku ingat sampai sekarang: “Kita tau untuk mengindarinya, bukan untuk mencobanya”.
Tau untuk menghindari. Ya, itu lah frasa yang tepat. Mungkin kita banyak, melihat kejadian yang negatif di sekitar kita, banyak dan serasa kejadian negatif itu mendomasi. Dan akhirnya kita merasa jadi takut, atau bahkan extremenya jadi hopeless untuk menjalani hidup ini. Itu adalah response yang salah dan secara alam bawah sadar malah membawa diri kita kenegatifan itu sendiri. Apabila kita dipaparkan informasi negatif di sekitar kita, reaksi kita tidak tepat seperti itu. Reaksi yang tepat adalah seperti belajar pengetahuan yang tepat: Sensasi atas mendapatkan ilmu, yang bisa kita gunakan untuk hindari setiap pattern pattern yang tergambar di otak, dimana kenegatifan itu terjadi, dan bisa bertindak preventif, atau penanggulangan.
Tentu saja response ini tidak natural kita dapatkan. Sepertinya kita harus pernah mendapatkan bukti bahwa, informasi negatif itu sebenarnya bisa tidak terjadi ke kita di masa depan. Harus punya experience untuk membantah itu, baru kita bisa yakin dengan pemikiran ini.
Banyak orang tua yang sengaja tidak memberikan informasi negatif seperti itu dengan dalih nanti anak bisa penasaran dan akhirnya terjerumus. Bermata dua sebenarnya, dan bahkan risknya lebih besar daripada gainnya. Tapi, memang, dengan delivery yang oke, dan mungkin dengan kadar wisdom anak yang sudah cukup, baru orang tua bisa memberikan informasi itu ke anak.