Minimalis

· 2 minute read

Aku tau istilah lifestyle minimalis itu sekitar tahun 2018 akhir. Aku lagi iseng check google books di playstore, terus ada buku murah trending, mungkin sekitar dibawah 50k, tentang topik “seni hidup minimalis”. Gimana maksudnya?

Ketika aku baca buku itu, itu benar-benar konsep yang baru dan menarik buatku, satu buku kuhabiskan dibawah satu minggu. Intinya author bercerita bagaimana hidupnya menjadi 180 derajat menjadi lebih baik dengan menjalani hidup minimalis lifestyle. Yang paling obvious: Punya apa yang harus, buang apa yang tidak harus.

Aku langsung menerapkannya selama aku hidup di Jakarta. Aku balikin semua baju-bajuku dan menyisakan hanya satu koper untuk hidup. Aku kasi sepatu-sepatuku ke adik sepupu. Setiap aku cari kos/apartemen aku memastikan interior dan isinya yang kubutuhkan semua ada, jadi aku tidak perlu beli.

Aku uninstall semua apps yang secara history sudah hampir lebih dari 2 bulan aku tidak gunakan. Aku delete semua email, dan setiap email datang kalau sudah dibaca aku hapus juga. Box-box barang, yang sengaja aku simpen entah kenapa aku buang semua. Kamar jadi lebih luas, lemari jadi banyak space.

Menerapkan konsep baru itu beneran bikin aku senang. Walaupun pada dasarnya aku adalah “minimalis nanggung”, benefitnya tetapku rasakan. Ibarat menghilangkan noise dan fokus pada apa yang penting. Aku bahkan sempat menghapus apps sosmed biar gak mantengin mulu. Sehari-hari habis pulang kantor, aku habiskan buat baca buku dan ngoding. Melakukan apa yang penting.

The best thing tentang itu adalah, aku hemat. Tentu saja, aku akan beli sesuatu yang memang aku perlu, dan ketika aku beli aku juga memastikan bahwa sesuatu yang related memang bener-bener rusak.

Selama beberapa waktu aku mempraktekan itu, di sosial media juga memang banyak yang mempraktekan. Salah satu pionernya lagi-lagi Raditya Dika. Darisana aku sadar bahwa makna minimalis tiap orang itu beda-beda. Ada kok yang masih beli barang-barang yang mereka suka, ada kok masih orang beli barang-barang yang mahal. Asalkan goalnya minimalis yang paling penting menurutku: hidup lebih fokus jauh dari noise itu tercukupi, aku rasa level minimalis yang extreme, gak punya kasur, sampai yang simple-simple aja gak masalah menurutku.

Sampai saat ini aku masih menerapkannya. Di level spending aja yang berbeda. Aku akan milih beli barang yang lebih mahal dengan asumsi lebih awet dan tahan lama, dibandingkan barang yang murah tapi mudah rusak/jelek. Tentu perlu riset, biar gak rugi. Tujuannya adalah supaya gak terus-terus beli barang, yang ujung-ujungnya akan spend lebih banyak.

Apakah ini rekomended? Rekomended. Kamu akan kaget, ketika ternyata segitu banyak barang yang tidak kita butuhkan, dan ternyata kita bisa hidup dengan sesuatu yang simple, dikit dan sederhana saja.

comments powered by Disqus