Wasting time menciptakan sesuatu yang sudah ada yang harusnya bisa kita gunakan. Di dunia software development ini sering terjadi. Bahkan aku juga sering masuk ke perangkap ini. Ada library bagus, yang sudah diciptakan oleh third party, senior engineer, yang sudah berkecimpung lama. Tapi kita tetap tidak mau menggunakannya karena itu dari “third party”. Dan malah milih bikin dari 0 yang wasting so much time dan resources. Sering terjadi, aku yakin di dunia lain juga sering gitu. Yang paling ngetren di dunia web development saat ini. Next.js 13. Framework dari library frontend, React, telah me-rilis versi ke 13-nya, salah satu fitur yang di gadang-gadang nya adalah “server side rendering”. Server side rendering ini udah ada dari jaman purbakala. Waktu awal-awal website dicipatakan, tahun 90an. Bahkan aku waktu belajar bikin website, ya defaultnya itu pasti server side rendering. Sekarang malah itu menjadi sebuah “inovasi”. Kita memang sering kayak gini, ibaratnya kita merasa ingin mencipatakan sesuatu yang baru, tapi malahan sesuatu yang dulu, yang dicipatakan oleh orang dulu dengan talent terbatas dan teknologi yang tidak secanggih sekarang, entah itu ide atau konsep, malah kita pake ulang dan malah terbukti memang ini itu “diperlukan” dan tidak ada cara lain lagi. Lindy effect. Semakin tua suatu konsep dan ide itu hidup, maka value dari ide tersebut akan semakin lama hidupnya, masih semakin relatable, bisa makin-makin malah. Makanya banyak yang menganjurkan baca buku-buku yang jadul, karena itu mengajarkan dasar-dasar dan konsep-konsep yang memang beneran terbukti bagus dan masih top di jaman sekarang. Lindy book mereka bilangnya. Tapi walaupun di case Next.js 13 ini aku bilang mereka seolah-olah wasting time dan ujung-ujungnya kembali ke roots, nyatanya enggak. Mereka mengenhance kemudahan pengembangan aplikasi dengan react, yang defaultnya client side rendering, tapi sekarang bisa menjadikan itu server side rendering secara out of the box, tidak perlu implementasi manual. SSR dapet, ngoding pake react dapet. Banyak case yang kayak gini. Aku barusan baca, jaman dulu, dimana orang-orang menggunakan tanah liat sebagai obat mujarab untuk penyakit manapun. Tapi ketika revolusi industri, budaya itu semakin ditinggalkan karena udah pada skeptis, lebih percaya science yang lagi boomingnya pada saat itu. Tapi abad ke 19, penelitian malah membuktikan lagi bahwa, tanah liat yang orang jadul pake itu malah memang beneran efektif menyembuhkan penyakit. Usut punya usut, karena science akhirnya bisa diketahui reasonnya. Ritual penyembuhan + tanah liatnya lah yang bikin itu ampuh. Ritualnya tanah liat di aduk-aduk dulu di sebuah tempat, dengan air dari mata air asri, lalu didiamkan berhari hari hingga kering, baru di olesi atau di konsumsi. Ternyata, proses itu membuat substansinya memproduce antibakterial kaya penicilin, yang malah kita gunakan sebagai pil antibiotik. Inovasi, tapi tetap ada value dari jaman purba yang kita gunakan. Dari tanah liat, jadi pil
Alasan takut atas “reinvent the wheel” jangan dijadikan untuk tidak bergerak untuk berinovasi. Walaupun setelah melakukan aksi, ujung-ujungnya malah balik ke 0, setidaknya kita sudah tidak jadi penasaran.