Buatlah sesuatu menjadi langka, atau sekedar seolah-olah menjadi langka, bikin sesuatu itu menjadi lebih berharga.
Aku ingat ketika aku baru merantau di Jakarta. Setiap ada kesempatan, aku bakal mampir ke warung deket kos yang hanya menjual indomie dan nasi telur. Telur dadar polosan yang baru digoreng serta nasi putih hangat yang menemani sangat precious saat itu. Membuatku langsung rindu rumah. Padahal dirumah mah sekarang tiap hari makan itu terus, aku tidak ,merasakan lagi “wah”-nya. Itu menjadi “wah” karena aku merantau. Aku melihat itu ada suatu yang langka, yang mengingatkanku akan rumah yang tidak bisa kutemui atau kudatangai seenak jidat. Beda dengan sekarang. Bosan.
Tadi aku lagi sembahyang, sembahyang hari ini karena Melasti, jadi aku perlu ke pantai. Semua pada bilang: “Madak je sing ujan” alias, semoga tidak hujan. Bali memang lagi langganan hujan akhir-akhir ini. Dan benar saja, tidak hujan. Malahan matahari sangat terik tadi siang. Panasnya beneran panas, tapi orang-orang pada tidak komplain. “Daripada ujan”, gitu katanya.
Seolah olah panasnya matahari ini dihargai, diapresiasi ketika lagi musim hujan saja. Dan itu valid, ketika pada musim kemarau dan matahari 90% terik, kita sering menyalahkan matahari atas pancaran panas yang ia berikan. Tapi ketika musim hujan, ketika matahari lagi “langka”, kita malah mencari-carinya.
Kita memang baru tau sesuatu itu berharga ketika kita tidak bisa lagi mendapatkannya. Ketika sudah tidak bisa mendapatkannya, kita baru sadar bahwa selama ini kita take it for granted. Banyak case lagi yang kalau kalian sadari, membuat sesuatu menjadi langka, itu bisa meningkatkan nilai dari sesuatu itu sendiri. Termasuk presence kita. Coba pikir, di case apa yang membuat presence kita menjadi langka bisa membuat nilai dari presence kita menjadi berharga? Selain itu, efek psikologi default ini disadari oleh orang dan dimanfaatkan. Trik ini banyak kita liat di jualan.
Ketika kita berada dipilihan antara beli atau tidak, lalu kita liat bahwa barang itu sudah sisa sedikit. Sisa sedikit, means banyak orang yang beli, dan psikologi kita akan tertipu atas itu. Akhirnya kita ikut beli barang itu, dan merasa bangga karena bisa mendapatkanya.
Tiket wars, salah satu contoh. Disebuah konser, panitia sengaja memberikan batch penjualan tiket semacam “Presale 1”, “Presale 2 “, “On the spot”. Dan biasanya di presale harganya dimurahin. Ini untuk memberikan kita asumsi bahwa “wah ini konser banyak yang minat, berarti bagus” Dan akhirnya kita yang tidak kebagian akan nungguin giliran di bukaan selanjutnya, ataupun di on the spot. Panitia cuan, penonton senang.
Tapi apakah ini memang terus bekerja? Aku pikir ini akan bekerja ketika, memang disamping dibuat scarce, kualitas dan value dari barang itu memang beneran bagus. At least gak jelek lah, at least medium. Yang jelas, sesuatu itu sudah bervalue dulu, baru teknik scarcity ini bisa diterapkan. Kalau sesuatu belum punya value, belum punya “nama”, teknik ini jadi bumerang, sesuatu itu bisa dilupakan oleh society.
Also teknik ini gak bisa terus diterapkan, kita harus bikin scarce, terus bikin abundant lagi. Tarik ulur lah, ada timingnya.