Dua konsep yang kalau diliat secara sekilas itu seperti bertabrakan. Self-accepatance berarti kita harus berbahagia dengan kondisi kita sekarang, tapi dengan self-improvement kita mesti tetap berusaha untuk grow selama masih hidup didunia ini. Kontradiktif.
Self-acceptance membuat kita merasa untuk berhak senang, kita berhak untuk bangga, kita berhak untuk mendapatkan cinta kasih di kondisi kita sekarang.
Self-improvement membuat untuk terus mengejar perkembangan dan jadilah the best version of ourself. Tapi, bukannya dengan self-acceptance, the best version of ourself itu adalah diri kita sekarang? Tapi, kalau self-acceptance malahan kita jadi tidak berkembang? Kalau terus kayak gini gak bakal ada habisnya. Death spiral. Ayam atau telur problem.
Deskripsi yang menurutku paling cocok mendeskripsikan ini adalah: We are perfect as we are, but there is always room to be better. Dah. Dengan ini kita tidak melihat self-acceptance dan self-improvement menjadi dua sisi yang berlainan, tapi saling mengisi.
We must be better. Tapi, dengan kita tidak menerima mensyukuri apa yang kita miliki saat ini, kita akan terus berada di jalan tol untuk mencapai kesempurnaan. Terus berlari. Jadi gak pernah tenang, karena merasa selalu kurang-kurang dan kurang. Disisi lain, kalau kita puas dengan hal yang kita miliki sekarang, kita jadi pemalas. Sembunyi dibalik self-acceptance, merasionalisasi pemikiran kita untuk tidak berusaha menjadi lebih baik, padahal kita itu cuma malas.
Find the balance.