Social Force

· 3 minute read

Waktu itu lagi bootcamp dan, setelah segala hal, kurang tidur, begadang, diare, dan deadline. Semua sudah serasa sangat panas dan semua urgent, setiap ada gesekan atau ketikdaktepatan, pertanyaan, langsung dibahas, semuanya menjeadi prioritas. Lempar ke temen-temen tanpa mikir, karena sudah tidak memiliki kemewahan lagi untuk berpikir.

“Kalem bli”. Gitu kira-kira, dari tim yang tidak ikut bootcamp. Ya, suasana di bootcamp ini sedang berada di puncak puncak nya stress. Aku bahkan gak tau apa yang bikin stress. Kenapa tim yang bootcamp stress, dan tim yang wfh tidak stress. Padahal ritmenya sama dan tidak ada perbedaan.

Setelah ku kilas balik, dan melihat kejadian-kejadian serupa tapi tak sama yang pernah ku alami, kondisi-kondisi seperti itu adalah akumulasi dari kondisi sekitar yang akhirnya mengafeksi mereka sendiri. Social force.

Kalian pasti pernah merasa di kondisi seperti ini: “Males ah, gak ada temen”, atau “Jangan kaget-kagetan dong, aku juga ikutan kaget”. Cukup aneh gak sih sebenarnya, dimana kita yang sebenarnya tidak memiliki potensi atau alasan untuk “males” dan untuk “kaget” di kondisi tersebut, tapi karena orang sekitar seperti itu, kita jadi ikutan seperti itu.

Atau hal-hal lain kayak, demo. Kenapa orang-orang jadi lebih berani, dan lebih bar-bar apabila berada di kerumunan. “Wah beraninya ramean doang”, gitu. Itu bukan sebuah preferensi, tapi memang menurutku itu adalah bawaan kita sebagai makhluk sosial.

Kondisi sekitar mempengaruhi kita. Emosi, pikiran, dan tingkah laku sebuah grup, itu akan mempengaruhi individu di dalamnya. Seperti ada sebuah sifat/kekuatan yang hanya bisa ditemui berada di sebuah grup, di sebuah kerumunan, di sebuah komintas.

Kita lebih susah berpikir dengan jernih, bahkan tidak bisa berpikir menjadi kritis. Apa yang komunitas mayoritas tentukan, kita akan ikut setuju tanpa mempertimbangkan matang-matang keputusan itu. Bahkan kita tidak peduli, semata-mata karena mayoritas dari massa sudah setuju. Kita menjadi simple, hitam dan putih, 0 dan 1. Semakin ramai massanya, semakin simple kita.

Itu yang aku rasakan ketika bootcamp kemarin. Ya, social force disini sudah membuat orang-orang berada di kondisi stress tinggi. Tidak paham kenapa bisa stress, tidak paham kenapa bisa panik. Sesimple karena sekitar juga stress dan panik jadinya ikutan.

Setelah wfh dan balik ke kantor lagi, social force itu kembali kerasa. Situasi kantor yang cukup menegangkan karena deadline semakin dekat, membuat semuanya ikutan tegang. Berbeda dengan bekerja di rumah. Padahal produktivitasnya bisa diadu.

Ini memang sesuatu yang kita punya natural. Tapi, dari sedikit benefit yang kita dapat darisini, menurutku lebih banyak negatifnya yang kita dapat. Tidak bisa berpikir kritis, itu salah satu drawback yang paling besar. Jadi, apabila kita berada dalam suatu komunitas, kerumunan, massa, tim, atau sesimple cuma sepasang invidivu saja, cara untuk tidak kalah oleh social force, atau agar tujuan awal dari kelompok itu tidak kalah tidak tergerus oleh social force: Alokasikan ruang dan waktu untuk menyendiri.

comments powered by Disqus