Superior

· 3 minute read

Rasa Superior. Kita di beberapa kesempatan pasti memiliki kehendak atau rasa superior. Kita lebih jago dari dia, kita lebih kuat dari dia, kita lebih ganteng dari dia. Rasa atas ingin meninggikan diri, yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.

Ketika kecil ingin bisa terbang. Kita punya invisible long sword yang bisa menembus apapun, dan membelah apapun yang melewatinya. Sejak kecil kita sudah memiliki ini, rasa superioritas akan kompetensi diri. Yang energinya akhirnya diteruskan dengan imajinasi-imajinasi seperti itu. Dan tentu saja ini tidak cuma berakhir di masa kecil. Muncul film super hero dan kartun.

Fiksi dibuat untuk memuaskan rasa superior dalam diri yang tidak bisa kita dapatkan di realita. Film dan kartun. Habis nonton naruto berasa bisa sharingan, habis nonton jurassic park, berasa bisa menjinakan raptor. Fiksi yang sukses adalah fiksi yang bisa bikin kayak gitu.

Kita memang cenderung memandang tinggi diri kita. Yang berbahaya adalah kita memandang tinggi diri kita yang sebenarnya kompetensi kita jauh dibawah itu. Banyak terjadi, sering terjadi di film-film, dan endingnya pasti selalu tidak mengenakan.

Minggu lalu aku habis nonton John Wick 4. Yang ngikutin serial John Wick akan merasa John Wick 4 ini adalah klimaksnya. Salah satu vilainnya, menduduki jabatan tinggi karena hanya warisan dari ayahnya yang meninggal. Ingin mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, menjanjikan janji janji tinggi ke petinggi, janji untuk memburu John Wick. Semua orang bilang gila, dia sendiri tetap denial. Dan yang pada ujungnya tidak bisa membawa apa-apa.

Cerita ini memang fiksi tapi jangan salah, kondisi ini akan sangat sering kita jumpai di sekitar kita. Bisa saja ada pada diri kita, atau pada orang lain di sekitar kita.

Orang dengan rasa superior yang tinggi akan menjadi pede, confident. Di awal, dia akan pasti selalu diuntungkan dengan rasa ini. Akan mendapatkan resources yang paling banyak, memaksimalkan potensinya dia. Tapi akan mentok pada ujungnya. Karena rasa percaya diri akan berubah menjadi arogan. Aku dewa, titisan tuhan, golden hand. Apabila ada yang salah itu bukan salahku, orang sekitarku yang bego karena tidak nyampe otaknya. Yang akhirnya arogansi dibuat tunduk oleh realita. Kerjaan yang diambil, kedudukan, status yang dimiliki tidak sesuai dengan kompetensi yang dia miliki. Pelan-pelan akan kebongkar, dengan setiap sejarah kegagalan kegagalan beruntun yang dialami.

Oke kita tidak merasa memiliki rasa superioritas yang tinggi seperti diatas tapi aku yakin kita pernah atleast tertipu oleh sekolompok orang yang seperti itu. Terbuai oleh “karisma” nya, dan akhirnya memilih dia sebagai leader. Yang akhirnya sama. Apa yang terlihat didepan, yang membentuk imajinasi kita, tidak sesuai dengan realita. Realita tidak pandang bulu.

Kita sudah membahas bagaimana rasa superior yang berlebihan ini bisa sangat merugikan untuk kita sebagai usernya, atau untuk kita sebagai yang punya relasi dengan dia. Tapi sama, sebagai sifat-sifat manusia pada umumnya, kita semua memiliki ini. Walaupun kadarnya tidak tinggi. Jangan anggap rasa superior ini sepenuhnya jelek. Gunakan rasa superior ini untuk menjadi superior beneran. Apa yang dilihat diatas itu sebenarnya mereka, lupa menginjak tanah. Apabila kita ingat menginjak tanah, ingat bahwa kita juga seiprit manusia yang sangat bisa salah dan kurang, ingat bahwa diatas langit masih ada langit. Tapi kita juga ingat, kita adalah manusia yang bisa melampui itu apabila kita memiliki keinginan untuk giat dan berusaha, maka rasa superior ini akan membawa kita ke arah positif.

Manfaatkan rasa superior dalam diri. Manfaatkan energi dari ini untuk membuat karya , untuk mengambil tanggung jawab. Start dari yang kecil-kecil aja. Jangan lupa minta feedback ke sekitar. Gunakan kesuksesan-kesuksesan kecil ini sebagai pijakan pijakan baru untuk mengambil dan berkarya yang lebih super. Terus ulangi seperti itu. Yang akhirnya nanti pada akhirnya rasa ini akan selaras dengan realita. Kita menang.

comments powered by Disqus