Hari ini kondangan teman sekelas SMA cowok. Ada 2 orang. Sekarang teman-temanku memang pada lagi nikah, karena memang udah umurnya. 26 tahun sesuai norma masyarakat.
Tadi aku udah enggak mikir: “dia nikah, aku kapan ya”, atau kalau temen baik: “kayaknya 2 bulan lalu masih main overcook bareng, sekarang udah nikah aja”. Mungkin karena udah agak banyak temen yang nikah, jadi udah basi pikiran gitu.
Menikah kalau dilihat dari kacamata logika, di budaya patriarki (mayoritas di asia), menikah itu adalah sebuah pengorbanan pria. Pria korban harta, korban waktu, korban tenaga, dan korban mimpi. Demi membangun keluarga serta menafkahi anak istri.
Tapi tentu saja kita nikah pakai perasaan. Pengorbanan yang faktanya banyak itu jadi enggak se-loss itu. Karena kita jadi punya istri yang kita lihat sebagai bidadari, dan anak yang lucu imut. Itu juga udah jadi reward sendiri. Atau bahkan kesenangan utama dari seorang pria/ayah.
Menikah menurutku itu harus keinginan langsung dari pria. Bukan dari wanita, bukan dari paksaan orang tua dan lingkungan. Itu harus langsung dari pria. Konsekuensi? pisah, atau hidup sepanjang hayat bersama kondisi yang tidak kita sukai.