“Bu, gimana rasanya anaknya udah nikah?” Aku tanya ibuku. Ibuku jawab: “Yaa sebagai orang tua bisa senang dan sekaligus tenang karena sudah bisa melakukan kewajiban. Aku tanya lagi, “Gak sedih ditinggal anaknya nikah?” “Enggak kan dari dulu udah hidup merantau, yang penting tetap berkabar aja.” Balas dia.
Itu tahun 2020, kira-kira itu jawaban ibuku yang aku ingat. Tadi temen baikku sudah jadi bapak. Anaknya sudah lahir, cowok. Aku ikut seneng. Serius genuine ini. Karena aku ngerasa memiliki anak itu adalah sesuatu yang sangat mulia. Anak bisa menjadi sumber kebahagiaan dan sumber motivasi.
Feeling ini sama seperti feeling ketika temen-temenku baru dikit yang nikah. Kayak gini: “Kayaknya perasaan baru kemarin kita nongkrong, sekarang udah jadi bapak aja”. Tapi ada yang beda. Feeling yang dulu feeling “ketinggalan”. Feeling yang sekarang bukan sensasi merasa “ketinggalan”, ini sensasi kesadaran atas perbedaan fase kehidupan orang terdekat dengan kita. Dan tidak bisa kembali seperti dulu lagi. Terdengar sedih, tapi ini cuma pure nature of time and society.
Tahun 2019, aku inget dikantorku aku sedang kerja tapi di tim sebelah lagi ngadain event, jadi ada suara mic yang terdengar. Aku ikutan denger ada peserta maju ke panggung: “Terima kasih atas doa temen-temen. Anak saya sudah lahir normal, laki-laki, sehat, beratnya 3.3kg”. Itu kabar bahagia tentu saja, tapi dulu dalam hati aku biasa aja. Setelah temen deket sudah jadi bapak, dan jawaban ibuku itu sekarang aku mengerti kenapa.