Men should not cry. Gitu kata society. Bukan kata society sih. Society memberikan sangsi kepada seorang pria ketika dia terlihat menangis. Menangis bagi seorang pria adalah suatu kelemahan. Setidak-setujunya kita terhadap norma sosial yang enggak jelas asal usulnya itu aku yakin kita juga akan berpandangan sama: Cowok nangis artinya lemah.
Gak ada yang akan membantu atau mengasihani seorang pria apabila pria itu menangis. Even sesama pria sekalipun. Oleh karena itu seorang pria berusaha sekuat tenaga untuk membangun achievement supaya ada orang yang “care” kepadanya.
Walaupun aku setuju dengan itu, tentu aku pernah nangis. Tapi aku berusaha untuk tidak nangis uncontrollable. Aku akan nangis ketika memang aku percaya bahwa momen ini adalah momen yang tepat untuk nangis. Momen apa yang aku ijinkan untuk diriku nangis? Aku ingat.
Hari itu september 2018. Seminggu setelah wisuda. Aku dibangunkan oleh notifikasi chat line yang lumayan rame. Aku buka chat dengan mata sedikit kantuk. “Selamat Fan”, “Selamat fan”, kira-kira gitu mayoritas chatnya. Aku lolos seleksi kerja di kantorku yang sekarang. Pada momen itu kantukku langsung hilang. Aku buka pintu kamar, sinar matahari menyorot mataku yang baru hilang kantuknya ini. Aku duduk dihalaman kos sambil menghela nafas, momen-momen 4 tahunku merantau langsung datang bertubi-tubi in that short moment of time. Aku tahu bahwa momen itu sebentar lagi tidak bisa aku dapatkan. Aku menangis.
Selama ini sesuatu yang berkaitan dengan perpisahan sih. Karena perpisahan terjadi cuma sekali, so gak masalah memberikan tangisanku ke momen itu, itu pikirku. Selain momen itu aku akan berusaha untuk tidak menangis. Kalau aku nangis, itu bagiku pertanda bahwa aku masih lemah, dan aku akan belajar dari itu. Aku tidak akan menyia-nyiakan tangisanku.
Hahaha liat dah! Gara-gara norma sosial tentang “cowok nangis” aku jadi berpandangan kayak gini. Harusnya mah nangis-nangis aja. Asal tidak merugikan orang lain, dan setelah nangis berpikir lebih clear harusnya nangis aja.